Agama Dalam Sistem Pendidikan Nasional
KETIKA draf rahasia “Peta Jalan Pendidikan Indonesia 2020-2035” berisi banyak hal, diantarnya mengenai Visi Pendidikan Indonesia 2035, yakni “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang unggul, terus berkembang, sejahtera, dan berakhlak mulia dengan menumbuhkan nilai-nilai budaya Indonesia dan Pancasila” sampai di masyarakat, bermunculan banyak pertanyaan dan tanggapan, antara lain tanggapan dari: (1) Prof. Dr. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, beliau mempertanyakan mengapa frasa “Agama” tidak terdapat pada Visi Pendidikan Indonesia 2035 dan menggantinya dengan frasa “Budaya dan Akhlak Mulia?” , berarti draf PJPI ini tidak sejalan dengan pasal 31 UUD RI 1945. Beliau mengusulkan perbaikan visi pendidikan Indonesia 2035 sebagai berikut “Membangun rakyat Indonesia untuk menjadi pembelajar seumur hidup yang beriman, bertaqwa, berakhlak mulia, unggul, terus berkembang, sejahtera dengan menumbuhkan nilai-nilai agama, Pancasila dan budaya Indonesia”, dikutip dari Republika, 9 Maret 2021; (2) Prof. Dr. Abdul Mu’ti, Sekretrais Umum PP Muhammadiyah mempertanyakan, mengapa PJPI 2020 – 2035 disusun secara sembunyi-sembunyi, tidak melibatkan publik, seperti Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP)?; (3) KH. Marsudi Suhud, Ketua PBNU, beliau mengatakan bahwa “keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia adalah domain agama merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, sementara visi pendidikan Indonesia 2035 pada PJPI hanya memuat akhlak mulia; (4) Romo Benny Susatyo, budayawan mengatakan “agama harus dimasukkan dalam Peta Jalan Pendidikan Indonesia karena disanalah adanya roh pendidikan”; (5) Hendrek Lokra selaku Sekretaris Eksekutip Bidang Keadilan dan Perdamaian Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) mengatakan frasa budaya dan akhak tidak bisa menggantikan frasa agama; (6) Uung Sendana selaku Ketua Kehormatan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) mengatakan, “frasa agama dan budaya sangat berbeda dengan agama”; (7) bapak Abdul Fikri Faqih selaku Wakil Ketua Komisi X DPR RImengatakan bahwa “pihaknya telah mengundang sejumlah elemen: NU, Muhammadiyah, MUI, PGI, KWI, Walubi, PHDI dan banyak pakar. Jawaban mereka sama, bahwa “Mereka sama sekali tidak pernah diajak membahas apalagi dilibatkan dalam penyusunan draf PJPI ini”; (8) bapak Asrul Sani, Wakil Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) mengatakan bahwa, “hilangnya frasa agama dalam Rancangan Peta Jalan Pendidikan Nasional mengingatkan adanya pelanggaran konstitusi”; dan (9) KH. Ma’ruf Amin selaku Wakil Presiden RI, akhirnya meminta agar frasa yang mengandung kata “agama” tetap ada pada PJPI 2020 – 2035.
Pada rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, 10 Maret 2021, bapak Nadiem Anwar`Makarim selaku Mendikbud RI menegaskan bahwa “Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI tidak pernah berencana untuk menghilangkan pelajaran agama”. Faktanya, frasa agama tidak ada dalam PJPI 2020-2035.
Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional di negeri ini berdiri di atas landasan hukum yang kuat, antara lain: (1) UUD 1945, pasal 31 (ayat 1) “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (ayat 3) “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang”; (ayat 5) “Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia”; (2) UU RI No. 20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, antara memuat hal-hal sebagai berikut; pasal 3, “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”, pasal 4 ( ayat 1) “Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa, pasal 12 ( ayat 1a) “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama”; pasal 30 (1) Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan pasal 37 menyatakan bahwa kurikulum pendidikan dasar, menengah dan perguruan tinggi wajib memuat pendidikan agama.
Prof. Dr. Abdul Mu’ti menambahkan banyak legasi atau warisan dari Profesor Malik Fadjar selaku Menteri Agama RI dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI mengenai agama dalam sistem pendidikan nasional, beliau telah berhasil melakukan reformasi pendidikan Islam yang semulanya indigenous mengalami transformasi menjadi lembaga pendidikan unggulan yang modern. Banyak terobosan beliau lakukan, antara lain: lulusan pesantren dan madrasah yang tidak memiliki ijasah negeri dapat melanjutkan ke perguruan tinggi agama Islam negeri. Kebijakan tersebut memiliki setidaknya tiga makna, yakni: (1) mengakui eksistensi kelembagaan pesantren dan madrasah; (2) mengangkat harkat lembaga pendidikan pesantren dan madrasah; dan (3) memperluas kesempatan bagi alumni pesantren dan madrasah menempuh jenjang pendidikan tinggi, berprestasi dan berkarir dalam berbagai bidang. Sebelum Mendikbud RI membuat kebijakan Program Studi di Luar Domisili, bapak Malik Fadjar lebih dahulu membuat terobosan kelembagaan (multicampus) pendidikan tinggi, beberapa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) memiliki fakultas cabang yang secara geografis berlokasi sangat jauh, seperti IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta memiliki fakultas cabang di Pontianak Kalimantan Barat, dan dalam rangka meningkatkan kualitas perguruan tinggi Islam, fakultas cabang menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), setelah beberapa tahun status STAIN berkembang menjadi IAIN dan Universitas Islam Negeri (UIN).
Warisan lainnya dari bapak Malik Fadjar berperan penting dan terlibat langsung dalam penyusunan UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20/Tahun 2003, khususnya dalam kontek kurikulum dan kelembagaan Pendidikan Agama Islam (PAI), yakni: penguatan pendidikan agama (pasal 12 ayat 1a, menyebutkan “peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapat pendidikan agama sesuai agama yang dianutnya dan diajarkan pendidik yang seagama”.
Atas jasa-jasanya, eksistensi pendidikan keagamaan termasuk pesantren semakin kuat ke dalam sistem pendidikan nasional setelah diperkuat melalui PP NO. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan dan UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, dikutip dari Republika, 12 September 2020.
Usaha keras dilakukan dalam memperjuangkan agama ke dalam Sistem Pendidikan Nasional, terutama penataan sistem kelembagaan yang dimulai dari penguatan landasan hukum (by law) pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terakhir meributkan frasa “agama” tidak terdapat pada visi pendidikan Indonesia 2035. Namun kenyataannya, sudah 18 (delapan belas) tahun ketidakadilan pedagogi dalam penyelenggaraan pendidikan agama terjadi terutama pada sekolah/perguruan tinggi umum, ditemukan peserta didik penganut agama minoritas tidak memperoleh pendidikan agama sebagaimana agama yang dianutnya oleh pendidik yang tidak seagama dengannya sebagaimana amanah undang-undang, Alasan seluruh siswa harus mendapat nilai agama pada raport/transkitnya, maka tidak jarang mereka mengikuti pendidikan agama yang tidak sesuai/bukan agamanya. Barangkali ada sebagian umat beragama telah melakukan kesalahan yang sama, menerima kesalahan itu menjadi sebuah kebenaran dan masa bodoh terhadap kezaliman itu dan kita nikmati ada dusta diantara kita. Kita lupa bahwa bangsa beradab dan bermartabat adalah bangsa yang menghormati dan menghargai kaum minoritas. Kekuatan suatu sistem, termasuk sistem pendidikan nasional ditentukan oleh rantai-rantai kecil. Selain itu, kesalahan yang mendapat pembenaran tersebut bertentangan atau melanggar undang-undang. Pertanyaan berikutnya, bagaimana legalitas hasil belajar peserta didik korban ketidakadilan pedagogi pada pendidikan agama ini?, seperti bagaimana keabsahan ijasahnya?. Menurut penulis, persoalan agama dalam sistem pendidikan nasional yang diributkan sekarang ini adalah masalah kecil (kepribadian/watak sebagian kita senangnya meributkan masalah kecil), padahal masih banyak akar persoalan agama dalam sistem pendidikan yang lebih besar dan belum dipikirkan secara serius, padahal disanalah titik awal kemunduran Islam itu terjadi.
oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]