Benarkah Kita Memerlukan Pemimpin Adil
ADIL adalah sifat utama bagi setiap manusia, lawan sifat adil adalah sifat zalim. Adil adalah memberi putusan hukum dengan benar. Memperlakukan perkara sesuai tempat, waktu, cara dan ukurannya secara proporsional. Ibnu Maskawih mengatakan, “Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terkumpul menjadi satu kesatuan dari tiga sifat utama manusia, yakni: kebijaksanaan, terjaga kehormatan dan keberanian.
Allah SWT berfirman, “Wahai Daud, Sesungguhnya engkau kami jadikan khalifah (pemimpin atau penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) diantara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu”, dikutip dari QS (38) : 26. Di lain ayat, dinyatakan bahwa “… apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil…”, dikutip dari An-Nisa’ (4) : 58.
Firman Allah SWT mengingatkan bahwa seseorang tidak mungkin mampu berlaku adil terhadap orang lain, apabila mereka tidak mampu berlaku adil terhadap dirinya, ibu/bapaknya dan kaum kerabatnya. Demikian pula, kebencianmu terhadap suatu kaum tidak mendorongmu berlaku tidak adil atau zalim kepada yang lainnya. Belum tentu orang yang tidak kamu senangi itu adalah lebih baik dari dirimu, dan belum tentu orang yang kamu senangi akan selalu bersamamu.
Nelson Mandela mengatakan, “Dalam dunia kita yang rumit, saling tergantung dan rawan gangguan, hanya sedikit hal yang lebih penting dari pada mutu dan kredibilitas pemimpin”.
Keterbatasan ruang opini ini, penulis kemukakan seorang pemimpin adil (pemimpin terpecaya), yakni Muhammad Saw.
Muhammad Saw berhasil mendamaikan suku-suku Arab yang bertikai hampir terjadi pertumpahan darah di antara mereka pada saat meletakkan hajarul aswad. Keberhasilan tersebut membuktikan beliau seorang pemimpin adil, dan masyarakat Arab sontak memberinya gelar al-Amin (dapat dipercaya). Adil adalah sikap paling istimewa Muhammad Saw, beliau selalu mengingatkan agar memutuskan hukum dengan seadil-adilnya, Jika Fathimah puteri Muhammad mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya”, dikutip dari HR Bukhari dan Muslim. Di hadist lain, dijelaskan keadilan Rasulullah Saw terhadap istri-istrinya, keadilan terhadap orang musyrik sekalipun dan keadilan kepada semua manusia. Kepemimpinan adil yang telah dicontohkan oleh Rasulullh Saw diikuti oleh para pemimpin Islam generasi berikutnya.
Michael H. Hart (2009) dalam bukunya berjudul “100 A Ranking of The Most Influential Persons in History” atau 100 orang paling berpengaruh (memiliki kepemimpinan sejati) di dunia sepanjang sejarah. Kepemimpinan berbasis keadilan yang dimilikinya, mampu membuat perubahan peradaban masyarakat dari masyarakat biadab menjadi masyarakat beradab dalam waktu singkat kurang lebih 20 tahun. Di 2,5 tahun sisa hidupnya, beliau sempat menyaksikan suku-suku Arab berbondong-bondong memeluk agama Islam, berlanjut setelah beliau wafat hingga sekarang agama Islam berkembang pesat di seantero dunia ini.
John Adair (2010) seorang pakar kepemimpinan dalam bukunya “Kepemimpinan Muhammad” menggambarkan keberhasilan Rasulullah Saw sebagai pemimpin yang dipercaya umat karena beliau meletakkan atau menjungjung tinggi nilai kebenaran dan keadilan. Asumsi beliau “Tidak ada kepercayaan tanpa kebenaran”. Catullus, penyair Romawi 84-54 SM mengatakan “Kepercayaan sebagaimana nyawa, sekali lenyap berarti lenyap untuk selama-lamanya”. Livius, penulis sejarah Romawi mengatakan, “Apabila rasa percaya lenyap, segala hubungan antar manusia menjadi sia-sia”. Oleh karena itu, penulis mengajak kita semua untuk memelihara dan memupuk kepercayaan itu, melalui sikap jujur, visoner, inspiratif dan cakap.
Pemimpin adil memberi kesejahteraan, kebahagian, keamanan dan kedamaian untuk semua pengikutnya tanpa membedakan satu dengan lainnya.
Allah SWT akan memberikan balasan kepada pemimpin beriman, bertaqwa dan adil yakni mendapat perlindungan di hari kiamat kelak.
Pertanyaannya adalah “Benarkah kita memerlukan pemimpin adil?.
Faktanya, sebagian masyarakat tidak memerlukan pemimpin adil, yang mereka perlukan adalah kehadiran pemimpin yang memberikan keuntungan kepadanya, tidak menguntungkan orang lain tidak apa-apa. Seorang pemimpin dipuja-puji dengan segala label pujian karena pemimpin tersebut memberikan keuntungan kepadanya, sebaliknya tidak sedikit pemimpin dicaci maki, difitnah, bahkan dizalimi padahal ia telah berusaha keras penuh pengorbanan mensejahterakan semua rakyatnya, hanya karena para pemimpin tersebut tidak memberi keuntungan kepadanya. Ketika seorang pemimpin memberikan keuntngan kepadanya, maka pemimpin tersebut dipuja-pujinya, besok harinya pemimpin yang dipuja-pujinya itu tidak memberikan bantuan kepadanya, namun memberikan bantuan kepada orang lain, merekapun lantas mencaci makinya, memfitnahnya, membuka aibnya dan sebagainya. Semestinya tidak demikian, setiap pemimpin ada kelebihan dan kelemahannya. Kita dukung sepenuh hati mengenai apa yang menjadi kelebihan dan keinginan baiknya dan kita bantu dan luruskan ada yang menjadi kelemahannya, demikian pesan Abu Bakar Siddiq ra dalam baiatnya ketika dilantik menjadi khalifaf pengganti Rasulullah Saw.
Fakta di atas benar adanya, baik dalam praktek maupun secara teori, para ahli kepemimpinan telah membahas secara mendalam adanya kepemimpinan transaksional itu. Bass dan Stogdill (1990) dalam “Handbook of Leadership” mengatakan “The transactional leader works within the framework of the self interests of his or her constituency”. Sikap dan perilaku “Aku Dapat Apa” tersebut sudah mulai muncul pada saat kampanye hingga terpilihnya seseorang menjadi pemimpin. Dapat diduga sistem rekrutmen pemilihan dan pengangkatan pemimpin di negeri ini bermasalah.
Menghadirkan seorang pemimpin adil, dilakukan mulai sejak awal, yakni saat memilih dan mengangkat seseorang menjadi pemimpin, Rasulullah Saw telah mengingatkan, “Siapa yang mengangkat seseorang untuk satu jabatan yang berkaitan dengan urusan masyarakat sedangkan dia mengetahui ada yang lebih tepat, maka sesungguhnya ia telah mengkhianati Allah, Rasul dan Kaum Muslimin”, Sabda nabi lainnya, “Bagaimana keadaan kalian, demikian pula ditetapkan penguasa atas kalian”. Pepatah Arab meenegaskan bahwa “Sebagaimana adanya dirimu, begitulah pemimpin yang akan memimpinmu”, maknanya adalah pemimpin itu ibarat cermin dari masyarakatnya. Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dapat menangkap aspirasi masyarakatnya, sedangkan masyarakat yang baik adalah masyarakat yang berusaha mewujudkan pemimpin yang dapat menyalurkan aspirasi mereka”, dikutip dari M. Quraish Shihab (1994) dalam bukunya “Lentera hati” (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]

