Bukan Salah Teknologi
BERSUMBER dari pendapat para ahli, teknologi didefinisikan sebagai aplikasi ilmu pengetahuan secara sistematis untuk menyelesaikan masalah praktis dengan baik (Howthorne, 1971; Galbraith, 1972; Paccy, 1983; Gouler, 1989 & Reisman, 2006).
Menurut Kumar dkk (1999), teknologi terdiri dua komponen, yakni komponen fisik (physical component) sebagai product, alat (tooling), peralatan (equipments), perencanaan (blueprints), teknik (techniques) and proses (processes); dan (2) komponen informasi (informational component) terkait pengetahuan bagaimana implementasi manajemen, marketing, production, quality control, dan kawasan fungsional lainnya.
Uraian di atas menjelaskan bahwa “teknologi tidak sebatas pada product, melainkan juga berhubungan dengan pengetahuan atau informasi bagaimana ia digunakan atau diaplikasikan dalam pengembangan product”, dikutip dari Lovell, 1998 dan Bozeman, 2000.
Teknologi mengalami perkembangan dan kemajuan sangat pesat, terutama technology information comunication, seperti televisi, internet, handpone dan sejenisnya. Dan kemajuan teknologi membuat perubahan peradaban manusia dari waktu ke waktu semakin cepat, kompleks dan tidak menentu.
Kemajuan teknologi memberi banyak manfaat bagi kehidupan manusia, diantaranya: yang dulunya jauh menjadi dekat, yang dulunya sulit menjadi mudah, yang dulunya mahal menjadi murah. Dampak transformasi teknologi dalam kehidupan manusia hampir-hampir sebagian kita tidak bisa terlepas darinya, handpone misalnya. Namun sayangnya, generasi kita saat ini hidup di “Zona Mabuk Teknologi”, yakni kehampaan spiritual yang mengecewakan dan berbahaya serta mustahil keluar dari dalamnya, kecuali jika kita menyadari bahwa kita memang berada di dalamnya.”, dikutip dari John Naisbitt (2001) dalam bukunya “High Tech High Touch”.
Adapun mabuk teknologi, ditandai beberapa ciri berikut: (1) lebih menyukai penyelesaian masalah secara kilat atau cepat; (2) takut sekaligus memuja teknologi; (3) mengaburkan perbedaan antara yang nyata dan yang semu; (4) menerima kekerasan sebagai sesuatu yang wajar; (5) mencintai teknologi dalam wujud mainan atau hiburan; dan (6) menerima dan menjalani kehidupan yang berjarak dan terenggut.
Iqbal seorang pujangga Islam mengingatkan, “Bagi siapa saja yang tidak mampu beradaptasi terhadap dampak dari kemajuan teknologi ini, pada saatnya pasti akan tergilas”.
Namun harus selalu diingat bahwa fungsi teknologi hanya sebatas “Alat” bukan “Tujuan”. Kehadirannya ibarat pisau bermata dua, berfungsi sebagai fasilitas memudahkan pekerjaan atau merusak, sangat tergantung pada siapa yang menggunakannya.
Hal ini penulis ingatkan karena selama ini sering terjadi kesalahan persepsi bahwa teknologi berfungsi sebagai tujuan, ada ungkapan “Pokoknya Teknologi” atau “Pokoknya Pembelajaran Jarak Jauh berbasis Daring (e-learning)”. Faktanya, banyak pembelajaran konvensional tanpa bersentuhan dengan teknologi, dilakukan dengan metode pembelajaran yang baik menghasilkan pembelajaran jauh lebih efektif dibanding e-learning atau pembelajaran daring. Gladwell dalam bukunya “Tiping Point” mengutip hasil penelitian yang menyimpulkan bahwa “belajar menggunakan buku teks lebih efektif dibanding belajar menggunakan e-book, pembelajaran melalui buku teks memperoleh pemahaman terhadap materi pembelajaran lebih mendalam dan komprehensif, sementara mereka yang belajar melalui e-book memperoleh pemahaman terhadap pengetahuan yang diajarkan sangat dangkal”.
Akhir-akhir ini, kekerasan anak, kehidupan seks bebas sehingga banyak terjadi kehamilan sebelum nikah dan terjadi dekadensi moral pada anak.
Teknologi telah memberi manfaat, namun sayangnya pengguna teknologi yang sudah kenyang menikmati manfaat teknologi dalam kehidupannya menyalahkan teknologi. Mengapa mereka tidak menanyakan siapa yang menyediakan teknologi itu, siapa yang menggunakan teknologi dan bagaimana teknologi itu digunakan. Dan mengapa mereka tidak menyalahkan para pendosa pengguna teknologi. Menurut penulis, suka menyalahkan teknologi adalah sikap tidak bertanggung jawab dan hipokrit (munafik) dan sikap tersebut sangat berbahaya atau merugikan bagi kemajuan bangsa di era revolusi industri 4.0 dan era disruptif, sekarang dan di masa yang akan datang.
Jika bukan salah teknologi, salahnya siapa?. McLuhan seorang pakar komunikasi menegaskan bahwa, “Kita terlalu mudah menyalahkan atau mengambing-hitamkan perangkat teknologi untuk membela para pendosa pengguna teknologi. Produk ilmu modern tidak dengan sendirinya bagus atau jelek. Penggunanyalah yang menentukan nilai teknologi tersebut”.
Fred Rogers mengatakan, “produk teknologi komunikasi mengalami perkembangan yang sangat cepat, jika Anda tidak cerdas menggunakannya, maka justru akan lebih baik jika Anda mematikan atau tidak menggunakannya”. Beliau memberikan ilustrasi, “gunakan teknologi informasi (televisi, internet, handpone dan sejenisnya) sebagaimana Anda menggunakan resep dokter. Pada resep dokter tertulis 3×4, tidak sama maknanya dengan 4×3 meskipun hasilnya sama yakni 12 (dua belas). Jika Anda salah memaknai perkalian tersebut, bisa jadi, obat tersebut tidak membuat Anda sembuh, justru penyakit Anda bertambah parah karena Anda keracunan obat.
Menurut penulis, persoalan kita adalah masih rendahnya kualitas literasi teknologi, terutama literasi digital masyarakat kita. Buktinya, terlalu lama (4,6 jam/hari) waktu digunakan anak Indonesia untuk bermain gawai, bandingkan dengan anak dari negara penghasil teknologi digital, seperti Korea Selatan, China dan Jepang, rata-rata hanya 1,2 jam/hari dan kuota internet tidak sepenuhnya digunakan untuk belajar dari rumah, melainkan lebih banyak digunakan untuk bermain.
Profesor M. Nasir mantan Menristekdikti ketika menjadi nara sumber di Universitas Terbuka menyatakan bahwa, “pembelajaran jarak jauh berbasis daring (e-learning) di masa darurat pencegahan COVID 19 saat ini salah kaprah”.
Bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI menambahkan “salah kaprah menggunakan teknologi dalam pembelajaran jarak jauh seperti sekarang ini berpotensi merusak peserta didik dan kerusakaannya bersifat permanen”, dikutip dari Tempo, 16 Agustus 2020.
Persoalannya jelas dan jawabannya juga jelas, yakni meningkatkan kualitas literasi teknologi, khususnya literasi teknologi digital.
Literasi teknologi meliputi; memahami cara kerja mesin dan aplikasi teknologi, seperti coding, artificial intelligence dan engineering principles.
Literasi teknologi informasi komunikasi (literasi digital) adalah kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dalam berbagai bentuk dan berbagai sumber yang sangat luas , diakses melalui piranti computer”, demikian Paul Gilster (1997) dalam bukunya “Digital Literacy”.
Pendapat lain, menyatakan bahwa literasi digital dimaksudkan: (1) mampu menggunakan teknologi digital, alat komunikasi dan/atau jaringan; (2) mampu menentukan kebutuhan informasi, mengakses, mengelola, mengintegrasikan dan mengevaluasi informasi; dan (3) mampu merumuskan informasi atau pengetahuan baru dan dapat mengkomunikasikannya kepada orang lain.
Dalam rangka membangun masyarakat melek teknologi ini, diperlukan sebuah gerakan literasi teknologi, khususnya literasi digital, baik di sekolah, di lingkungan keluarga maupun di masyarakat (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]