Catatan Kritis Terhadap Omnibus Law RUU Cipta Kerja
Sebelum wabah Covid-19 ditetapkan oleh Pemerintah sebagai bencana nasional non alam, terdapat sebuah isu yang menjadi perhatian publik yaitu tindakan Pemerintah terkait rancangan omnibus law.
Niatan awal Pemerintah ketika ingin membuat omnibus law terlihat pada saat Presiden Joko Widodo dilantik menjadi Presiden Indonesia untuk periode 2019 – 2024, dimana dalam sidang paripurna MPR RI, salah satu program kerja yang akan dilakukan dalam periode 2019 – 2024 adalah penyederhanaan regulasi. Bentuk kongkrit dari penyederhanaan regulasi tersebut adalah dengan menggunakan metode omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang.
Dalam perkembangannya, sebagai sebuah bentuk tindak lanjut rencana penyederhanaan regulasi dengan metode omnibus law, pada tanggal 12 Februari 2020, Pemerintah secara resmi menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Cipker) beserta Naskah Akademiknya kepada DPR. Apabila melihat dari konsideran menimbang draf RUU Cipker, terlihat tujuan dari pembentukan undang-undang ini adalah untuk meningkatkan ekosistem investasi.
Merujuk pada Naskah Akademik RUU Cipker, dijelaskan bahwa omnibus law merupakan metode untuk membuat sebuah regulasi atau Undang-Undang yang terdiri atas banyak subyek atau materi pokok untuk tujuan tertentu.
Saat ini, perundang-undangan yang menggunakan metode omnibus law yang sudah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prioritas 2020-2024 adalah RUU Cipta Kerja dan RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian, yang keduanya sama-sama diusulkan dari Pemerintah. Adapun di dalam penulisan ini akan memfokuskan kajiannya pada RUU Cipta Kerja.
Keberadaan RUU Cipker akan berdampak pada 79 undang-undang yang mengakomodir 1244 pasal. Secara struktur, RUU Cipker terdiri dari 15 bab dan 174 pasal yang memiliki 11 klaster, yakni: Penyederhanaan perizinan, Persyaratan Investasi, Ketenagakerjaan, Kemudahan pemberdayaan dan perlindungan UMKM, Kemudahan Berusaha, Dukungan Riset dan inovasi, Administrasi pemerintahan, Pengenaan Sanksi, Pengadaan Lahan, Investasi dan proyek pemerintahan, dan Kawasan ekonomi.
Meskipun keberadaanya ditujukan untuk tujuan baik dan drafnya telah diserahkan kepada DPR namun apabila dikaji secara komperhensif terkait dengan RUU Cipker ini maka akan didapati berbagai permasalahan hukum di dalamnya sehingga membuat RUU Cipker ini perlu untuk dikaji ulang.
Sedikitnya ada 3 (tiga) poin permasalahan yang cukup krusial terkait dengan materi muatan RUU Cipker ini. Pertama, terkait pemangkasan peran pemerintah daerah sehingga berujung pada resentralisasi. Dalam beberapa pasal RUU Cipker ini nyatanya banyak yang mengatur terkait dengan peran Pemerintah Pusat yang mana sebelumnya peran tersebut merupakan peran pemerintahan daerah sehingga hal ini mengurangi peran pemerintah daerah yang berujung pada resentralisasi dan membuat kewenangan Pemerintah Pusat semakin absolut. Pasal-pasal tersebut salah satunya terlihat di Pasal 23 ayat (24) RUU Cipker mengenai perubahan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup) yang hanya mengamanatkan Pemerintah Pusat terkait kewenangan dan tugas dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sebelumnya, di dalam UU Lingkungan Hidup, tugas dan wewenang tersebut dimiliki oleh Pemerintah Pusat bersama pemerintah provinsi serta pemerintah kabupaten/kota. Permasalahan kedua adalah adanya ketidaksesuian salah satu pasal RUU Cipta Keja dengan hirarki Perundang-undangan yang berujung pada ketidakpastian hukum. Pokok permasalahan terkait hal ini terlihat di dalam Pasal 170 RUU Cipker dimana pada ayat (2) menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) diberikan wewenang untuk mengatur perubahan Undang-Undang. Padahal hirarki dan Peraturan Perundang-undangan yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) jelas meletakkan PP berada di bawah Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
Ketika pasal 170 RUU Cipker menyatakan bahwa PP diberikan wewenang untuk mengubah ketentuan dalam Undang-Uundang, ini artinya kekuatan hukum yang lebih rendah diberikan wewenang untuk mengatur kekuatan hukum yang lebih tinggi, ketentuan ini selain menyalahi aturan hirarki perundang-undangan namun juga bertentangan dengan asas Lex Superiori Derogat Legi Inferiori. PP tidak memiliki kekuatan untuk mengatur Undang-Undang, bukan hanya karena hirarki saja, melainkan dalam ketentuan umum UU P3 yang juga menegaskan bahwa PP adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya. Sebagai regulasi yang berfungsi untuk menjalankan Undang-undang, PP harusnya menjadi regulasi tindak lanjut untuk Undang-undang.
Selain itu, permasalahan hukum yang ketiga terdapat di dalam pasal 166 ayat (3) RUU Cipker yang menyatakan bahwa Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan peraturan bupati/wali kota dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku dengan Peraturan Presiden. Pasal ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XIV/2016 yang pada intinya menegaskan bahwa executive review sejatinya tidak memiliki dasar yang kuat dalam konstitusi. Putusan ini didasarkan bahwa tidak adanya Pasal dalam UUD 1945 yang membenarkan adanya executive review, dan yang berhak untuk membatalkan Perda Provinsi dan Peraturan Gubernur dan/atau Perda Kabupaten/Kota dan Peraturan Bupati/Walikota yang bermasalah hanya Mahkamah Agung.
Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stabilitas, dapat diprediksi, dan adil. Hukum yang kondusif memang sangat berperan guna menciptakan iklim investasi yang menarik bagi para penanam modal asing. Di dalam membentuk suatu undang-undang, Pemerintah haruslah memperhatikan kepentingan masyarakat banyak. Selain itu, di dalam melakukan proses pembentukan undang-undang untuk tidak bertentangan dengan konstitusi Indonesia yaitu UUD 1945, dan jangan samapai merugikan dan melanggar hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat secara umum, karena pada dasarnya undang-undang dibentuk untuk kebaikan masyarakat.
Omnibus law RUU Cipker pada dasarnya lahir dari keinginan baik dimana negara ingin meningkatkan ekosistem investasi demi percepatan perekonomian nasional, namun sangat disayangkan apabila melihat draf RUU Cipker ini didapati masih banyaknya permasalahan hukum. Dari pembahasan di atas cukup menggambarkan bahwa terdapat masalah hukum serius dalam pembentukan RUU Cipker. Wajar bila kemudian rancangan tersebut menuai banyak penolakan. Sebelum terlalu jauh melangkah, Pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang persoalan tersebut. Jangan sampai pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja malah memperumit persoalan tumpang tindih peraturan dan berpotensi tidak efektif untuk dilaksanakan.
Muhammad Rafi Darajati, S.H., M.H.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura
[learn_press_profile]
Tag:informasi, lintas pakar, mahasiswa, omnibus law, penelitian, untan

