Ditulis untuk Dibaca
Sesederhana apapun suatu tulisan, misalnya hanya terdiri dari satu kata, ia ditulis untuk dibaca, meskipun JK Rowling seorang penulis buku best seller internasional, penulis buku berjudul “Harry Potter”, ketika menulis tidak bermaksud karya tulisnya dibaca orang lain, tidak berpikir buku yang ditulisnya diterbitkan atau tidak, melainkan menulis sebatas sebuah rekreasi yang dilakukannya secara konsisten dalam suasana nyaman.
Nilai dari suatu tulisan tidak ditentukan dari panjangnya tulisan tersebut, tidak sedikit sebuah pamplet dan brosur dibanding sebuah buku memiliki pengaruh lebih besar dalam membentuk opini dan merubah perilaku pembacanya karena karya tulis tersebut dibaca dan disitasi. Persoalan kita adalah karya tulis tidak dibaca, tidak disitasi, apalagi gunakan dalam berinovasi.
Sejak puluhan tahun lalu, tepat 1 Januari 2000 hingga sekarang ini, setiap hari Senin, penulis selalu menulis (penulis tetap) sebuah opini di koran Pontianak Post mengenai masalah kontemporer di masyarakat, khususnya bidang pendidikan. Sejak awal yang ada dalam pikiran penulis adalah mengingat pikiran dengan menuliskannya (pesan Ali bin Abi Thalib ra), tentu saja dengan penuh harapan opini tersebut dibaca dan disitasi oleh banyak orang, sehubungan dengan itu, setiap Senin opini terbit, biasanya pada hari Selasa (satu hari setelah terbit), penulis pantau (monitoring) untuk mengetahui apakah opini tersebut terbaca atau tidak. Dari hasil monitoring opini tersebut, penulis mengambil banyak pelajaran dalam menulis, diantaranya judul tulisan mempengaruhi keterbacaan sebuah karya tulis. Judul karya tulis yang baik harus memiliki tiga unsur, yakni: singkat, padat dan provokatif, dan pelajaran lainnya adalah paragraf sebuah tulisan mengandung satu pokok pikiran (main ide) dan beberapa ide pendukung (sporting ideas) dan ditulis secara singkat.
Jujur penulis akui, menjadi seorang penulis tetap di media massa penuh suka dan duka, penghinaan datang silih berganti, diantaranya mendapat penghinaan sebagai seorang penulis kelas Taman-Kanak-Kanak yang hanya mampu mempublikasikan karya tulisnya di sebuah media/koran daerah penulis alami. Setelah sekian tahun penulis mengetahui oknum yang menghina penulis, ternyata bukanlah seorang penulis. Penulis tidak marah atas penghinaan tersebut, hanya berharap semoga penghinaan mereka semakin menyempurnakan diri penulis, demikian nasehat Sokrates seorang filosof.
Sebagai seorang akademisi, rasanya tidak terlalu salah jika rutin menulis di media sosial dalam bentuk opini dengan maksud berbagi ilmu pengetahuan dan penulis sering menerima apresiasi dari setiap opini yang terbit. Penulis amati, buku best seller international yang dibaca dan disitasi oleh banyak orang adalah buku yang ditulis oleh para jurnalis mengenai perjalanan hidup orang sukses. Para jurnalis mampu mempersonifikasi perjalanan sukses mereka, tidak sedikit setelah membaca karya tulis mereka lahir para start up mengikuti jejak mereka, seperti Gate, Jack Ma, Stephen Job, Chairul Tanjung, Dahlan Iskan, Susi Pujiastuti, dan Nadiem Anwar Makarim.
Dalam pengamatan penulis, akhir-akhir ini di semua usia, mulai anak usia dini hingga orang dewasa telah tumbuh dan berkembang literasi membaca, namun sangat disayangkan literasi membaca masih terbatas pada membaca WhatsApp (WA), YouTube, instagram, facebook dan sejenisnya.
Penulis bersama media Pontinak Post pernah melakukan sebuah survei pembaca. Sebuah opini berjudul “Berbelas Kasih” dimuat dalam bentuk cetak, pada hari yang sama opini tersebut diterbitkan dalam bentuk dialog dan dimuat di YouTube. Setelah beberapa hari, penulis lakukan survei untuk mengetahui sejauhmana opini terakses?. Akhirnya dapat disimpulkan, terdapat perbedaan yang sangat signifikan, dimana masyarakat lebih banyak mengakses opini tersebut melalui YouTube. Perilaku membaca masyarakat mengalami perubahan, dari membaca secara visual (teks) menjadi perilaku membaca melalui audio (disertai video). Barangkali sudah sulit menemukan anggota masyarakat, termasuk para akademisi tekun membaca sebuah buku berjumlah 500 halaman, terutama buku-buku klasik di bidangnya masing-masing.
Ben Chu (2017) dalam bukunya “Chinese Whispers” mengatakan bahwa “dari puluhan ribu karya ilmiah yang dihasilkan ilmuan China setiap tahunnya, sangat sedikit yang dikutip (disitasi) oleh kalangan profesional dalam bidang yang sama di berbagai universitas di dunia. Sangat berbeda dibanding karya ilmiah para ilmuan Amerika dan Inggris jauh lebih berpengaruh. Antara tahun 2004 – 2008 sekitar 30% kutipan di seluruh dunia dipetik dari karya ilmiah para ilmuan Amerika dan 8% lainnya dari karya ilmiah ilmuan Inggris, ilmuan Jerman berkontribusi di atas 7% kutipan. Sementara itu, kontribusi karya ilmiah ilmuan China hanya 4%, terlepas dari lonjakan jumlah publikasi karya ilmiah pada tahun-tahun tersebut”. Pertanyaannya adalah berapa banyak kutipan karya ilmiah para ilmuan dan akademisi Indonesia?.
Untuk apa karya ilmiah yang dihasilkan dengan menghabiskan sumber daya sangat besar pada akhirnya karya ilmiah tersebut tidak dibaca, tidak dikutip, apalagi digunakan oleh karangan profesional, melainkan hanya memenuhi satu persyaratan menjadi guru besar (profesor), sekedar menjadi dokumen mati yang hanya tersimpan rapi di lemari-lemari perpustakaan dan/atau di file-file computer. Barangkali temuan penelitian yang terpublikasi kurang inovatif dan adaptif.
Untuk menghasilkan sebuah karya tulis berkulitas, terpublikasi di Jurnal internasional terindeks scopus, Q1 dan berimpact factor tinggi bukanlah pekerjaan mudah, memerlukan dukungan sumber daya yang sangat besar.
Rahmi Dianty, dr, M.Ked. Klin, Sp. M.K, puteri penulis bercerita, “semangat, kerja keras dan sungguh-sungguh para dosen dan mahasiswa program doctor riset (S3) di Osaka University Jepang sangat tinggi (setiap harinya mulai 07.00 – 22.00 waktu setempat) berada di laboratorium untuk melakukan penelitian berkualitas, hasil penelitian tidak sebatas terpublikasi pada jurnal international terindeks scopus karena hal tersebut sesuatu yang biasa-biasa saja, melainkan terpublikasi pada jurnal international terindeks scopus peringkat Q1 dengan impact factor yang sangat tinggi. Semangat dosen dan mahasiswa melakukan penelitian dan publikasi ilmiah mendapat dukungan finansial yang sangat besar dari berbagai pihak, terutama dari perguruan tinggi dan dunia usaha.
Jika dukungan finansial sangat terbatas, tentu saja sangat sulit menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah berkualitas tinggi dengan indikator: terpublikasi (terbaca, disitasi) pada jurnal international terindeks scopus, peringkat Q1 dan memiliki impact factor yang tinggi. Maksudnya, jika hari ini, kita berpikir dan berharap memiliki setidaknya satu karya tulis yang memenuhi kriteria sebuah karya tulis berkualitas tinggi sebagaimana tersebut di atas, maka tidak ada yang tidak mungkin dapat dicapai, apabila kita mengusahakannya sejak sekarang ini
Oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]