Hidup Mekar di Jalan Sukar
PADA dialog RRI PRO 3 beberapa waktu lalu, salah seorang pengusaha sukses berdomisili di Kota Padang menceritakan pengalaman hidupnya masa lalu di ibu kota Jakarta yang penuh kekerasan dan kesulitan. Ribuan orang tua dengan segala kesulitannya berjuang dan rela berpisah dengan anak-anaknya agar putera-puterinya memperoleh pendidikan di sekolah bermutu.
Sekilas potret kehidupan saudara-saudara kita di atas menggambarkan bahwa mereka ingin hidup mekar sekalipun di jalan yang sukar.
Kemiskinan dan kesulitan hidup selalu menjadi pihak tertuduh sebagai penyebab sukarnya hidup ini, bukan akibat dari penyebab-penyebab lainnya. Ternyata, ketidakkeberhasilan seseorang dalam hidup ini bukan semata-mata akibat dari faktor kemiskinan tersebut, melainkan lebih dipengaruhi oleh faktor yang ada pada diri mereka, yakni kecerdasan dalam menghadapi kesulitan, demikian Paul G. Stoltz (2000) dalam buku”Adversity Quotient”.
Cerdas menghadapi atau menerima kesulitan (Adversity Quotient) menjelma dalam tiga bentuk: (1) suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan; (2) suatu ukuran untuk mengetahui respons terhadap kesulitan; dan (3) serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respons terhadap kesulitan.
Adapun dimensi dari kecerdasan menghadapi atau menerima kesulitan (Adversity Quotient) tersebut terdiri dari: (1) control, yakni seberpa banyak kendali yang dirasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan; (2) origin dan ownership, yakni siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauhmana seseorang mengakui akibat dari kesulitan itu; (3) reach atau jangkauan, yakni sejauhmana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang; (4) endurance atau daya tahan, yakni berapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan itu akan berlangsung.
Cerdas menghadapi atau menerima kesulitan (Adversity Quotient) yang terdiri dari empat dimensi tersebuat di atas telah terbukti menjadi faktor terpenting dalam meraih kesuksesan dan mampu mengubah kesulitan atau hambatan menjadi peluang, demikian sebaliknya.
Mereka yang sukses mengelola kesulitan hidup yang membawa mereka mekar dalam hidupnya, ditandai antara lain: (1) kontrol diri yang tinggi terhadap kesulitan itu, mereka sabar setiap menghadapi kesulitan, demikian sebaliknya; (2) setiap menghadapi kesulitan, mereka selalu mengembalikan asal dari kesulitan tersebut berawal atau bersumber dari dirinya sendiri, bukan berasal dari orang lain, tidak ditemukan mereka yang memiliki kecerdasan menghadapi kesulitan ini selalu menyalahkan (mencari kambing hitam) orang lain; (3) mereka tidak merembeskan satu kesulitan kepada kesulitan lain dari kehidupannya karena mereka yakin bahwa semua kesulitan itu sudah ada tempatnya sendiri-sendiri, misalnya kesulitan di rumah bukanlah kesulitan di kantor tempat ia bekerja, demikian sebaliknya, bahkan kegagalan di sekolah bukanlah kegagalan di bidang kehidupan lainnya. Dalam hidup ini, terkadang pintu yang kita inginkan masih tertutup rapat, sementara pintu kehidupan lainnya yang disiapkan oleh Allah Swt untuk kita terbuka lebar, namun sayangnya kita berlama-lama menunggu di depan pintu yang tertutup itu, contoh kasus. Bill Gate orang terkaya di dunia gagal saat ia kuliah, dan ibu Megawati mantan presiden RI juga gagal saat kuliah pada program studi psikologi UGM, mereka gagal di perguruan tinggi, namun mereka sukses di bidang-bidang lainnya karena mereka tidak membawa (merembeskan) suatu kegagalan kepada kegagalan lainnya. Mereka yanng sukses menghadap kesulitan sangat yakin bahwa, setiap kesulitan ada jalan keluarnya, ibarat semua penyakit ada obatnya, mereka tidak menyakini bahwa kegagalan atau kesulitan itu adalah sebuah takdir.
Pandai mensyukuri nikmat kesulitan, maka kesulitan itu akan mengajari kita rahasia menuju kebahagiaan sejati, yakni kebahagiaan yang dihasilkan dari hubungan kita dengan diri kita sendiri, dengan orang lain dan dengan Tuhan. Kebahagiaan itu datang bukan dari apa yang kita punya dan peroleh tetapi dari apa yang kita capai, dan bukan pula dari apa yang kita terima melainkan dari apa yang kita berikan.
Allah SWT dengan sifat rakhman dan rakhimNya memberikan kemiskinan atau kecukupan adalah untuk kebaikan dan keselamatan umatnya, bukan sebaliknya. Banyak orang menjadi kufur karena kemiskinan atau sukar dan sulitnya hidup ini, demikian pula tidak sedikit orang menjadi lupa dan lalai kepada Allah SWT karena nikmat yang diberikannya, dan banyak orang sangat taat dan khusuk dalam ibadahnya kepada Allah SWT meskipun hidup apa adanya.
Seseorang disebut sukses dalam hidup ini bukanlah karena miskin atau kaya, lebih atau kurang, melainkan sejauhmana seseorang memberi makna dari kehidupannya dan tidak lalai mensyukurinya.
Helen Keller seorang penyandang tunanetra sekaligus tunarungu secara total sejak berusia 17 bulan. Dalam suatu kesempatan ia mengatakan bahwa dua tuna yang dideritanya menyebabkan orang tuanya tidak mau mengasuhnya dan menyerahkannya kepada seorang suster Zulivan untuk mengasuh dan mendidiknya, ternyata di tangan seorang suster yang sabar, memiliki rasa cinta kasih kepada anak manusia yang sejak berusia 17 (tujuh belas) bulan menderita dua ketunaan itu menjadikan ia wanita pertama berhasil menyelesaikan studi doktor dengan prestasi gemilang pada Harvard University, yakni sebuah universitas ternama, tebaik dan pretisius di dunia ini. Namun sangat disesalnya, ada diantara kita melihat fenomena tersebut sebagai aib keluarga.
Penulis terhenyuh dan tidak sadar meneteskan air mata ketika mendengar Jajak Raharja seorang pakar Pendidikan Luar Biasa (PLB) bercerita tentang pengalamannya mengasuh lebih dari 1000 anak dan mahasiswa penyandang tunanetra, katanya; ”Banyak orang tua yang anaknya menderita tunanetra justru bersedih ketika mendengar khabar bahwa di saat libur kuliah anaknya ingin pulang menemui orang tuanya karena sudah sangat rindu kepadanya”.
Mungkin kita pun tergolong tidak peduli terhadap kelompok masyarakat yang tidak beruntung atau termarginalkan karena kemiskinan, kekurangan dan ketunaan ini, atau keperdulian kita muncul karena disana ada proyek yang banyak duitnya. Padahal uluran tangan orang tua, saudara, dan kita semua sangatlah mereka butuhkan. Sentuah fisik seorang ibu yang melahirkannya jauh lebih penting dari segalanya. Pertanyaannya, ”Apa yang tidak disenangi jika mereka pulang menemui ibu tercinta”. Orang bijak mengatakan, ”Anak yang tidak kau banggakan dalam hidup ini, justru mereka adalah Anak yang paling menghormati dan mencintai orang tuanya sepenuh hati sepanjang hidupnya. Sebaliknya, Anak yang kau banggakan karena ia mencapai sukses dalam hidup dan kehidupannya, belum tentu mereka menghormati dan menghargaimu ketika kau sudah berusia lanjut.
Dikutip dari tiga buku karya Ben Carson berjudul; Gifted Hands (1997) Think Big (1997) dan Big Future (2000). Sukses luar biasa seorang Ben Carson dari keluarga miskin tidak dapat dilepaskan dari peran ibunya Sonya Carson, yakni seorang ibu yang selalu ingin melindungi anaknya, membagi kebahagiaan pada anak-anaknya dan tidak ingin berbagi kepedihan dan penderitaan pada mereka, seorang istri yang tidak pernah bertengkar dengan suaminya meskipun selalu ditinggal pergi sang suami yang dulunya sebelum sakramen pernikahan diikrarkan selalu menjanjikan kedamaian, kebahagiaan, dan membebaskan ia dari kemiskinan ternyata seorang suami yang sangat doyan obat bius dan gonta ganti wanita, seorang istri yang selalu menutup rapat perilaku jelek suaminya terutama dihadapan anak-anaknya, seorang ibu pekerja keras, selalu mempunyai sasaran, menuntut yang terbaik dari dirinya sendiri dalam situasi apapun sebelum menunut yang terbaik dari orang lain, misalnya selalu mengepel lantai sampai lantai terbersih yang pernah dilihat orang meskipun ia hanya sempat mengenyam pendidikan kelas tiga sekolah rendah yang tidak pernah belajar penjaminan mutu, menolak untuk mendapat kesejahteraan dari departemen sosial sebagai kelompok masyarakat yang wajib disantuni negara meskipun hidup sangat miskin di daerah kumuh Detroit berprofesi sebagai seorang pembantu rumah tangga dengan jam kerja 05.00-24.00 (tidak bisa tidur lebih dari 1-2 jam) setiap harinya tetapi tidak pernah lalai bertanya tentang kesulitan atau masalah di sekolah dan aktifitas membaca anak-anaknya.
Mentalitas Sonya Carson sangat berbeda dengan penulis, mungkin juga berbeda dengan para pembaca. Mentalitas kelimpahan yang selalu melihat kesukaran sebagai keuntungan atau jalan hidup mekar, dan bergerak melintasi mentalitas korban yang dimilikinya mengingatkan penulis pada kata bijak Sallust (86-34 SM) yang menyatakan; “Kemasyhuran yang dianugerahkan berupa harta dan kecantikan hanyalah berusia sepintas dan rapuh, sedangkan keunggulan mental adalah milik yang adika dan abadi”.
Gede Prama (2006) dalam bukunya “Meninggalkan Keangkuhan, Bersahabatkan Keberhasilan, dan Memasuki Keheningan” mengakui keberhasilannya karena mensyukuri kekurangan. Ia mengatakan setiap saat berusaha untuk menutupi kekurangannya, dan saya menggunakan kekurangan untuk kemajuan, kalau orang menakuti kekurangan, maka saya mensyukuri kekurangan itu. Yang lebih saya syukuri, karena begitu sampai di tempat yang tinggi, saya tidak dimakan oleh kesombongan”. Gede Prama benar, karena saat ini banyak orang tidak tahu diri, menjadi angkuh dan sombong setelah mencapai prestasi/jabatan, seakan-akan prestasi yang dicapainya karena usahanya sendiri. Ia lupa apa yang dikatakan oleh Aristoteles sebagai kecacatan tragis (hamartia), yakni prestasi atau keunggulan seseorang bisa menjadi sumber kebesaran sekaligus kehancurannya, dikutip dari Daoed Yoesoef (2006) dalam bukunya ”Dia dan Aku”.
Janganlah karena kemiskinan dan kekurangan menyebabkan kita kehilangan harga diri. Kepada Allah SWT penulis bersyukur karena telah melahirkan dan membesarkanku dari sebuah keluarga yang sangat miskin, dan mengingatkanku asal usul kehidupanku ini, karena yang paling kutakuti dalam hidup ini adalah kesombongan.
Bapak Dahlan Iskan mengatakan, “Orang hebat tidak dihasilkan dari Kemudahan, kesenangan dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesulitan, tantangan dan air mata”. Bapak Dahlan Iskan benar, penulis merasakan, “Hidupku Mekar karena Jalan yang Sukar” (Penulis adalah Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]