Jaga Mulutmu
Nazaruddin Hoya, seorang sufi, penasehat para pemimpin atau penguasa ditegur karena beliau memarahi puterinya di depan umum. Wahai Nazaruddin, “Kenapa Anda permalukan (beleter dan memukul) puteri Anda di depan umum?”. Beliau menjawab, “Saya hanya ingin mengingatkan berhati-hati membawa kendi agar kendi tersebut tidak terjatuh dan pecah”. Kemudian dijawab, “Bukankah kendi itu tidak terjatuh?”. Kembali Nazaruddin menjawab, “Jika terjatuh dan pecah, apa gunanya saya marah”.
Kisah di atas menceritakan dialog antara seorang sufi/alim/ahli agama dan penasehat penguasa dengan rakyatnya.
Pelajaran bermakna dari kisah dialog singkat di atas adalah; (1) ketika rakyat berkesempatan mengingatkan atau menegur pemimpinnya yang berbuat salah, dan pemimpin menerima peringatan dan teguran tersebut. Pertanda bahwa iklim demokrasi sudah berjalan baik, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, di era masyarakat bermental Asal Bapak Senang (ABS) dan berpenyakit “Kancil Pilek” atau “Yang Penting Aku Selamat”, penulis apresiasi kepada bapak bupati Sambas Atbah Rohim Suhaili yang telah memberikan pembelajaran bermakna (meaningfull learning) bagi masyarakat meskipun sebagian orang menilainya kurang populis atau tidak biasa. Demikian pula rasa kagum dan hormat disampaikan kepada bapak gubernur Kalimantan Barat, bapak Sutarmiji yang telah menanggapi polemik dua pemimpin tersebut secara bijak dan berpikir jauh ke depan untuk keselamatan bersama; (2) siapapun kita, apalagi ia seorang pemimpin tidak boleh mempermalukan orang lain di muka umum, apalagi membuka aibnya. Jika penyakit hati senang membuka aib orang lain ada pada seseorang, penulis yakin pada saatnya nanti aibnya akan terungkap juga. Ingatlah, semua kita bukanlah manusia yang sempurna, pastilah memiliki aib; ada yang kecil dan ada yang besar. Jika aib kecil terungkap, maka habislah sudah dari apa yang kita miliki, semua anggota keluarga besar dan keturunan kita merasa malu dibuatnya. Ketika bapak Akil Mochtar ditangkap KPK beberapa tahun lalu, penulis mengatakan, “Abang Akil bukanlah orang paling jahat di negeri ini, masih banyak orang yang lebih jahat dari Abang, hanya mereka ditutup aibnya sehingga tidak tertangkap, sementara Abang ditangkap karena terungkap aibnya. Bersabarlah Abangku”; dan (3) seorang pemimpin, tidak salah jika ia marah (beleter) sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, bahkan pemimpin dinilai salah jika tidak mengingatkan rakyatnya yang berbuat salah. Ibaratnya, jangan setelah piring pecah, baru bekalut, sudah tidak ada gunanya.
Masalah ini, sesungguhnya sangatlah sederhana dan telah diingatkan sejak lama sebagaimana terungkap dalam sebuah pribahasa, “Mulutmu adalah Harimaumu”. Namun sayangnya, kita seringkali lupa.
Manusia dan binatang pada umumnya memiliki satu mulut dan dua telinga. Mulut bisa menutup dirinya tanpa bantuan bagian tubuh lainnya, berbeda dengan telinga dimana ia tidak bisa menutup dirinya sendiri kecuali menggunakan bagian tubuh lainnya seperti tangan. Maknanya, porsi mulut untuk bicara mesti setidaknya setengah dari porsi telinga untuk mendengar, satu kali mulut berbicara, setidaknya dua kali telinga mendengar. Keinginan untuk mendengar harus lebih besar dari keinginan untuk berbicara. Seseorang menjadi hebat/sukses tidak semata-mata karena kecerdasan dan kemampuannya dalam retorika bicaranya, melainkan lebih disebabkan oleh kecerdasan dan kemampuanya dalam mendengar. Anehnya, banyak orang lebih ingin banyak berbicara dari pada mendengar.
Mulut merupakan sarana untuk menyampaikan pesan kebenaran. Namun sayangnya, mulut sering digunakan untuk hal-hal yang dilarang, seperti mengguncing (ghibah), berbohong dan menyebar fitnah. Tidak sedikit bencana atau kerusakan terjadi di muka bumi ini bersumber atau berawal dari mulut.
Leonardo da Vinci mengemukakan sebuah metafora; “Kerang terbuka total saat bulan purnama, dan ketika kepiting melihat seekor kerang yang terbuka, ia melemparkan sebutir batu atau ganggang laut ke dalamnya supaya si kerang tak bisa menutup lagi, jadi si kepiting bisa menyantap dagingnya. Begitulah nasib orang yang terlalu sering membuka mulutnya dan menempatkan dirinya pada belas kasihan pendengarnya”. Orang yang banyak omongnya tidak sadar, bahwa dirinya telah terperangkap dalam jaring mangsanya.
Pendapat pakar komunikasi politik menyimpulkan bahwa “keberhasilan seorang pemimpin, sesungguhnya sangat ditentukan oleh kepiawaiannya berkomunikasi. Melalui komunikasi, pemimpin membangun kepercayaan pada rakyat dan pengikutnya. Saling kritik yang kurang sehat diantara pemimpin menggambarkan sisi negatif dari komunikasi politik pemimpin dan hampir dapat dipastikan mengurangi kewibawaannya di mata rakyatnya dan kepemimpinannya akan merosot dan berdampak pemerintahannya cendrung menjadi kacau, sebaliknya komunikasi politik pemimpin yang santun menjadi modal kuat bagi kemajuan bangsa”, dikutip dari hasil penelitian Tjipta Lesmana (2008) yang ditulis kembali dalam sebuah buku berjudul “Dari Soekarno sampai SBY: Intrik & Lobi Politik Para Penguasa”.
Menurut peneliti asing, Bapak Soeharto berkuasa kurang lebih selama 32 tahun di negeri ini karena kekuatan bahasa yang dimilikinya. Ia dikenal dengan senyum jenderalnya dan tutur katanya yang santun. Selama ia berkuasa, tidak pernah satu kalipun dalam pidatonya menyebutkan kata “Saya”, melainkan kata “Kita”. Kemudian bapak Susilo Bambang Yudoyono meneruskan kebiasaan bicara beliau dengan satu ungkapan, “Bersama, Kita Bisa”.
Raja Thailand Bumipol puluhan tahun berkuasa, sangat disenangi dan dicintai rakyatnya juga karena kuasa kata yang keluar dari mulutnya.
Robert Greene (2007) dalam bukunya “The 48 Laws of Power” mengatakan, bahwa “Dalam banyak hal, kekuasaan adalah permainan penampilan, dan ketika anda bicara lebih sedikit dari pada yang perlu anda ucapkan, anda pasti tampak lebih hebat, tampak semakin mendalam, misterius, dan lebih kuat dari yang sesungguhnya. Kekuasaan (power) seorang pemimpin tidak bisa dimiliki oleh orang-orang yang bicara sembarangan. Orang yang berkuasa membuat orang lain terkesan dengan lebih jarang bicara. Semakin banyak kata yang anda ucapkan, maka anda akan tampak biasa-biasa saja dan semakin kurang terkendali atau semakin banyak kemungkinan bagi anda untuk mengucapkan sesuatu yang konyol”.
Zig Ziglar (2001) dalam bukunya berjudul; ”Something Else to Smile About” mengutip nasehat Mahatma Ghandi yakni, ”… perhatikan kata-katamu, karena ia akan menjadi perbuatanmu,…” (Penulis adalah dosen FKIP Untan)
[learn_press_profile]
Tag:dr aswandi, fkip, informasi, mahasiswa, opini, pakar pendidikan, penelitian, rektor, untan