
Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA Gelar Kuliah Umum tentang Biodiversitas Laut di Kepulauan Kecil
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perairan HMIK FMIPA mengadakan Kuliah Umum dengan tema “Marine Biodiversity on the Small Islands of North Moluccas: Potency, Challenges, and Solutions in the Future” di Gedung Kuliah Bersama A, Senin (20/5/2024).
Kuliah Umum ini menghadirkan narasumber Wakil Dekan 2 Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Khairun, Khalikudin Umasangaji, S.Pi., M.Si., Ph.D. Sebelum kegiatan dimulai, Wakil Dekan 2 Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tanjungpura, Yudha Arman, S.Si., M.Si., D.Sc., beserta Ketua Jurusan Ilmu Kelautan, Arie Antasari Kushadiwijayanto, S.Si., M.Si., yang didampingi oleh jajaran lainnya, membuka acara tersebut.
Shifa Helena, moderator kuliah umum, mengatakan bahwa Indonesia memiliki banyak sekali pulau kecil, salah satunya berada di wilayah Ternate. Keanekaragaman hayati di pulau Ternate mencakup keunikan variasi organisme hidup dalam ekosistem, mulai dari mamalia hingga bakteri.
“Pulau-pulau kecil sering kali memiliki nilai yang berharga dan sistem keanekaragaman hayati yang langka karena cenderung menjadi lokasi kecil dan terisolasi. Spesies di pulau-pulau ini seringkali sangat terspesialisasi sesuai dengan lingkungannya dan beradaptasi dengan kondisi khusus,” tuturnya.
“Melalui Kuliah Umum ini, Jurusan Ilmu Kelautan FMIPA mengajak Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Tanjungpura untuk mengenal lebih dekat tantangan dan solusi yang ada di pulau-pulau kecil,” ucap Shifa Helena.

Khalikudin Umasangaji dalam paparannya menjelaskan tentang pergerakan massa udara dingin saat musim dingin di daratan Cina yang melintasi Laut Cina Selatan dan memasuki wilayah perairan Indonesia.
“Ada 4 tipe surge dingin berdasarkan lintasannya menuju lintang rendah: 1) South China Sea (SCS) surges, 2) Philippines Sea (PHS) surges, 3) kombinasi SCS dan PHS surges, dan 4) blocked surges. Seruak dingin ini memicu kemarau panjang, membentuk titik api yang padat di wilayah Kalimantan dan Sumatera, dan menyebabkan kebakaran hutan di sana. Curah hujan yang tinggi di benua maritim dipicu oleh interaksi antara seruak dan kondisi sinoptik yang sudah ada di area tropis, terutama Madden-Julian Oscillation (MJO),” jelasnya.
Khalikudin Umasangaji juga menjelaskan tentang kekayaan keanekaragaman hayati di pulau-pulau kecil di Ternate, termasuk lamun, mangrove, dan terumbu karang, serta berbagai biota unik seperti cacing yang hanya muncul sekali setahun di pulau Ternate.
“Kemunculan cacing ini terjadi secara masif di permukaan air, sebuah fenomena yang dikenal sebagai swarming, saat transisi dari musim barat ke musim timur ketika pasang purnama di kawasan ekosistem terumbu karang. Kemunculan cacing Nereis yang hanya setahun sekali ini dijadikan ajang panen raya di wilayah Ternate. Kegiatan ini erat kaitannya dengan konservasi berbasis kearifan lokal yang disebut Sassi,” katanya.
Menurut Khalikudin, konservasi berbasis kearifan lokal seperti Sassi di wilayah Ternate diatur oleh ketua adat untuk menentukan biota apa saja yang dilarang untuk dikonsumsi dan kapan boleh mengambil hasil laut. Jika aturan ini dilanggar, dipercaya keluarganya akan sakit.
“Pendekatan ini terbukti efektif mengatasi masalah seperti tangkapan ikan berlebih. Solusi Sassi berbasis kearifan lokal menjadi salah satu program MPA (Marine Protected Area) di perairan Ternate,” pungkasnya.

Tag:fmipa, jurusan ilmu kelautan, untan