Kasih Ibu Sepanjang Masa
TAK peduli berapa besarnya kesulitan, betapa sirnanya harapan, betapa rumitnya masalah, dan betapa besarnya kesalahan. Kesadaran akan kasih yang dalam dapat menguraikan semuanya. Bila kita dapat mencintai dan mengasihinya dengan tulus ikhlas.”. Sebuah pepatah Arab mengatakan, ”Tidak ada satupun obat yang bisa menyembuhkan sakit hati kecuali keikhlasan”.
Emmet Fox mengatakan, “Tak ada kesulitan yang tak dapat dikalahkan, tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan, tak ada pintu yang tak akan dibukakan, tak ada teluk yang tak mungkin dijembatani, tak ada dinding yang tak dapat dihancurkan, tak ada dosa yang tak dapat ditebus, dan seterusnya selama ada cinta sejati di dalamnya”.
Asumsi tersebut di atas dibuktikan dua kisah berikut ini.
Kisah Pertama, Di masa dahulu kala seorang ibu ditinggal (wafat) suaminya, ia hidup bersama seorang anak laki-lakinya. Putera tunggalnya tersebut sangat durhaka kepadanya. Ketika ibunya telah berusia lanjut dan uzur, sangat teganya seorang ibu yang sudah sangat lemah itu digendong di atas punggungnya untuk dibawa ke tengah-tengah hutan. Dalam perjalanan menuju hutan belantara ibunya sering bertanya kepada anaknya, “Mau kau bawa kemana ibu ini, Wahai anakku?”. Sepatah katapun si anak tak menjawab.
Selain bertanya kemana tempat yang akan dituju, ibunya selalu menyempatkan diri untuk mematahkan pucuk dari tanaman hutan yang ada di kiri-kanan jalan yang dilewatinya. Setelah berjalan cukup jauh, ia bertemu sebatang pohon besar yang rindang daunnya dan di situlah anak laki-laki tersebut menempatkan ibunya sendirian.
Sebelum anaknya berangkat pulang, ibunya mengatakan kepadanya, “Wahai anakku, agar kau tidak tersesat dan sampai di rumah dalam keadaan selamat, berjalanlah ke luar hutan ini mengikuti pohon-pohon kecil yang sempat ibu patahkan pucuknya. Diketahui maksud ibunya mematahkan pucuk tanaman tersebut agar menjadi petunjuk jalan keselamatan anaknya.
Kisah di atas menjelaskan kasih ibu sepanjang masa. Seorang anak yang sangat durhaka dan kejam kepadanya, namun tetap saja dibalas dengan usaha untuk keselamatan anaknya sekecil apapun usaha tersebut.
Kisah Kedua, Di suatu negeri ada seorang ibu yang sudah tua hidup berdua dengan putera tunggalnya. Suaminya sudah lama meninggal karena sakit.
Sang ibu sering sekali merasa sedih memikirkan anak satu-satunya yang mempunyai tabiat sangat buruk, yaitu suka mencuri, berjudi, mabok dan banyak lagi yang membuat si ibu sering menangis meratapi nasibnya yang malang ini. Namun begitulah ibu tua itu selalu berdoa kepada Tuhan, “Tuhan tolonglah aku, sadarkan anakku yang sangat kusayangi, supaya ia tidak berbuat dosa lebih banyak lagi. Aku ini sudah tua dan aku ingin menyaksikan dia bertobat sebelum aku mati”. Namun semakin lama, si anak semakin larut dengan perbuatan jahatnya. Sudah sangat sering ia keluar masuk bui (penjara) karena kejahatan yang dilakukannya.
Suatu hari, ia kembali mencuri di sebuah rumah penduduk. Namun malang nasibnya, ia tertangkap basah oleh penduduk yang kebetulan lewat. Kemudian ia dibawa kehadapan raja untuk diadili sesuai kebiasaan di kerajaan tersebut. Setelah dikaji berdasarkan aturan dan perundang-undangan yang berlaku, maka tanpa ampun lagi si anak tersebut dijatuhi hukuman pancung. Pengumuman hukuman mati (pancung) tersebar di seluruh negeri. Hukuman pancung akan dilakukan keesokan harinya di depan rakyat dan raja tepat pada saat lonceng berdentang menandai pukul enam pagi.
Berita hukuman itu sampai juga ketelinga si ibunya yang sedang sakit dan lumpuh. Ibunya menangis, meratapi anaknya yang sangat dikasihaninya, sembari berlutut dia berdoa kepada TuhanNya. ”Tuhanku, ampunilah anak hamba. Biarlah hambamu yang
sudah tua renta dan lumpuh ini yang menanggung semua dosa dan kesalahannya.
Dengan tertatih-tatih dia mendatangi raja dan memohon agar anaknya dibebaskan, tetapi keputusan sudah bulat. Si anak tetap harus menjalani hukuman. Dengan hati hancur si ibu kembali ke rumah. Tidak berhenti dia berdoa supaya anaknya diampuni.
Karena kelelahan dia tertidur dan bermimpi bertemu TuhanNya. Keesokan harinya, di tempat yang sudah ditentukan, rakyat berbondong-bondong ingin menyaksikan hukuman pancung tersebut, Sang algojo sudah siap dengan pedangnya, dan si anak sudah pasrah menanti saat ajal menjemputnya. Terbayang dimatanya, wajah ibunya yang sudah tua renta, tanpa terasa dia menangis menyesali perbuatannya. Detik-detik yang dinantikan akhirnya tiba. Sampai waktu yang ditentukan, lonceng belum juga berdentang, suasana mulai berisik, sudah lima menit dari waktunya.
Akhirnya didatangi petugas yang membunyikan lonceng tersebut. Petugas juga mengaku heran, karena sudah sedari tadi dia menarik lonceng, namun suara dentangnya tidak ada. Ketika mereka sedang terheran-heran, tiba-tiba dari tali yang dipegangnya mengalir darah, darah tersebut datangnya dari atas, berasal dari tempat dimana lonceng diikat.
Dengan jantung berdebar-debar seluruh rakyat menanti saat beberapa orang naik ke atas menyelidiki sumber darah itu. Tahukah anda apa yang sesungguhnya terjadi.? Ternyata di dalam lonceng besar itu ditemui tubuh si ibu dengan kepala hancur berlumur darah. Dia memeluk bandul di dalam lonceng yang mengakibatkan lonceng tidak berbunyi sebagai ganti kepalanya yang terbentur ke dinding lonceng. Seluruh orang yang hadir menyaksikan kejadian tersebut tertunduk dan meneteskan air mata. Sementara si anak meraung-raung memeluk tubuh ibunya yang telah remuk diturunkan. Dia menyesali dirinya yang selalu menyusahkan ibunya. Ternyata malam sebelumnya si ibu dengan bersusah payah memanjat ke atas dan mengikat dirinya di lonceng tersebut serta memeluk besi di dalam lonceng untuk menghindari hukuman pancung anaknya (Inilah yang disebut kekuatan cinta).
Kejadian tersebut dilaporkan kepada raja. Akhirnya raja dengan rasa kemanusiaannya memutuskan untuk mengubah amar tuntutan dari hukuman pancung menjadi hukuman penjara seumur hidup dengan alasan masih ada seorang ibu yang tak berdaya mencintainya.
Dua kisah di atas dirasa cukup (masih banyak kisah lain) menjadi bukti bahwa kasih ibu sepanjang masa. Betapapun jahat dan durhakanya seorang anak kepada ibunya, tidak pernah dibalasnya dengan ucapan (doa) dan tindakan yang membuat anaknya tidak selamat. Jika ditemukan terjadi perilaku kekerasan seorang ibu terhadap anaknya, biasanya anak tersebut adalah korban dari kekerasan ibunya terhadap orang lain.
Sungguhpun demikian, ditemukan masih banyak anak durhaka terhadap kedua orang tuanya, terutama durhaka terhadap ibunya padahal telah banyak keterangan disampaikan kepadanya bahwa ibu dalam prespektif agama menempati kedudukan sangat tinggi, surga itu di bawah telapak kaki ibu dan ibu adalah seorang perempuan sebagai tiang negara. Allah SWT menjelaskan bahwa pengorbanan seorang ibu sangat besar, tidak hanya sebatas memiliki hak reproduksi dan menyesui, melainkan pengasuhan dan pendidikan untuk melahirkan generasi penerus berkualitas, bermartabat dan beradab, bahkan melakukan perjuangan di medan perang juga dilakukan oleh banyak ibu.
Marilah kita berlomba-lomba mengasihani ibu kita masing-masing, berlomba-lomba membuat ibu setiap saat tersenyum bahagia karena akhlak mulia anak-anaknya.
oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]