Kekosongan Kepemimpinan
Jusuf Kalla menanggapi kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Muhammad Rizieq Syihab ke tanah airnya disambut ribuan pendukungnya adalah sebuah fenomena kekosongan kepemimpinan (tidak adanya pemimpin yang mampu menyerap aspirasi masyarakat secara luas). Kekosongan kepemimpinan tersebut diisi oleh Habib Rizieq Syihab”, dikutip dari Tempo, 29 Nopember 2020.
Dibagian lain, Jusuf Kalla mengatakan, “Adanya kekosongan kepemimpinan tersebut, begitu ada pemimpin yang kharismatik yang berani memberi alternatif, maka orang mendukungnya”.
Pendapat Jusuf Kalla yang menyatakan bahwa “Adanya kekosongan kepemimpinan dan masyarakat memerlukan hadirnya kepemimpinan kharismatik” tersebut perlu dibuktikan kebenarannya.
Mati, kekosongan atau tidak berfungsinya kepemimpinan merupakan sesuatu yang sering atau biasa terjadi dalam suatu sistem sosial. Hadapilah dengan tenang, jangan kebakaran jenggot, apalagi saling menyalahkan.
Kepemimpinan (leadership) pada hakikatnya adalah pengaruh dan problem solver, apabila seorang pemimpin sudah tidak memiliki pengaruh atau pengaruhnya kurang bermakna, yang ditandai antara lain: ketika ia bicara pengikutnya tidak mau mendengarnya, ketika pengikutnya mengalami masalah, tidak datang menemuinya atau tidak meminta petunjuk kepadanya dan ia tidak mampu menyelesaikan masalah, maka dapat disimpulkan sesungguhnya telah terjadi kekosongan atau matinya kepemimpinan itu.
Barbara Kellerman (2012) dalam bukunya “The End of Leadership” memaknai mati atau kekosongan kepemimpinan tidak terbatas pada tidak berfungsinya (disfunction) kepemimpinan, melainkan dimaknai oleh kurang peduli atau cueknya seseorang dan/atau suatu kaum atau komunitas terhadap pentingnya kehadiran kepemimpinan. Kita diajarkan apabila berkumpul dua orang atau lebih, kepada mereka diharuskan mengangkat seorang pemimpin diantara mereka. Fenomena ketidakpedulian terhadap kepemimpinan hari ini telah merasuk ke sendi kehidupan umat, antara lain dapat dibuktikan dari rendahnya partisipasi politik masyarakat saat pemilihan kepala daerah (pilkada) dan pemilihan umum, masih kuatnya demokrasi jalanan.
Pendapat lain menyatakan bahwa mati atau kekosongan kepemimpinan karena kesalahan asumsi tentang kepemimpinan, yakni kepemimpinan yang selalu dihubungkan dengan kekuasaan (power), posisi (position) dan otoritas (authority), mengabaikan bahwa kepemimpinan adalah pengaruh (influence) dan kepengikutan (followership).
Pertanyaan berikutnya, apakah benar dukungan terhadap Habib Rizieq Syihab menjadi bukti bahwa masyarakat menunggu kehadirannya sebagai kepemimpinan kharismatik”?.
Peter F. Drucker, bapak manajemen modern dan para pakar kepemimpinan lainnya mengatakan bahwa kepemimpinan kharismatik sudah mati.
Kata karismatik berasal dari kata “karisma” yang dalam bahasa Yunani berarti berkat yang terinspirasi secara agung, seperti kemampuan melakukan keajaiban, persepsi pengikut terhadap pemimpinnya karena kualitas luar biasa atau visi radikal yang dimilikinya menawarkan solusi bagi krisis sosial. Dengan mengorbankan diri, mengambil resiko pribadi, terkadang mendatangkan biaya tinggi untuk mencapai visinya. Hal ini sejalan dengan pendapat John C. Maxwell (2001) dalam bukunya “Laws of Leadership”, ia menyatakan bahwa orang dengan sendirinya mengikuti pemimpin-pemimpin yang lebih kuat dari dirinya. Jika orang menghormati seseorang sebagai individu, mereka mengaguminya. Jika mereka menghormatinya sebagai sahabat, mereka mengasihaninya, dan Jika mereka menghormatinya sebagai pemimpin, mereka mengikutinya. Berdasarkan empat teori karismatik, yakni atribusi, konsep diri, psikodinamis dan penularan sosial, terdapat kesamaan persepsi perilaku pemimpin karismatik, yakni pemimpin patut dicontoh dan muncul dalam kondisi kritis dan kekecewaan.
Indikator atau bukti kepemimpinan karismatik terlihat dari hubungan antara pemimpin dan pengikutnya didasarkan pada keyakinan dan kepatuhan terhadap pemimpinnya bersifat semu hingga jumud. Karakteristik dan perilaku pemimpin merupakan penentu penting dari kepemimpinan karismatik, memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan, keyakinan diri yang tinggi, pendirian yang kuat dalam keyakinan dan idealism mereka sendiri, kerja tanpa visi dan program yang jelas, memanipulasi informasi melalui keahlian komunikasi dan bahasa, misalnya sering membesar-besarkan dan pencitraan pribadi, kurang sabar dan implusif terhadap perubahan, tidak menyukai pengorganisasian formal dan enggan berbagi dengan orang lain sehingga menciptakan kekosongan kepemimpinan.
Peter F. Drucker menyatakan bahwa “karisma menjadi perusak pemimpin”. Tujuan organisasi dikalahkan oleh tujuan pribadi, demikian Jay. A. Conger (1997) dalam bukunya “The Charismatic Leader”.
Sisi gelap dari pemimpin karismatik, antara lain; keinginan akan penerimaan, pemujaan pengikut secara irrasional, keyakinan optimism berlebihan membutakan pemimpin, gagal dalam organisasi pembelajar, ketergantungan pada pemimpin terlalu tinggi sehingga menghambat pengembangan kompetensi, dan krisis suksesi kepemimpinan, demikian Gary Yukl seorang pakar kepemimpinan.
Proses pengaruh utama adalah identifikasi dan internalisasi pribadi, yakni keinginan pengikut menyenangkan dan meniru perilaku pemimpinnya.
Persetujuan pemimpin yang bersifat kontektual atau situasional adalah nilai dan sumber motivasi utama kepengikutan.
Peter F. Drucker (1997) dalam bukunya “New Realities” menegaskan bahwa keefektifan seorang pemimpin, bukan karena karismanya, melainkan visi, keyakinan religious yang dalam, kesadaran akan tugas dan kerelaan untuk bekerja keras.
Ian Bremmer (2013) dalam bukunya “The J Curve” mengatakan bahwa jatuh dan berjaya sebuah bangsa ditentukan oleh sebuah titik yang mempertemukan antara stabilitas dan keterbukaan. Kemajuan sebuah bangsa karena stabilitas yang terbuka atau sebuah negara yang sangat stabil dan kokoh berkat kematangan lembaga-lembaga negaranya dan sebaliknya kejatuhan sebuah bangsa akibat stabilitas yang tertutup. Banyak faktor yang mempengaruhi kestabilan tertutup itu, namun faktor yang paling dominan menciptakan kestabilan tertutup adalah para pemimpin karismatik yang dictator, ia menciptakan kestabilan untuk dirinya sendiri. Menurut Winston Churchill, mereka adalah para diktator yang selalu naik harimau, tetapi tidak memiliki keberanian untuk turun dari tunggangan mereka. David L. McManis (1997) seorang konsultas manajemen dalam bukunya “A New Paradigm of Leadership” dan banyak pakar kepemimpinan lainnya menyatakan hal yang sama bahwa pemimpin karismatik hanyalah mitos, dan seorang pemimpin tidak harus karismatik, melainkan pemimpin yang visioner, memiliki integritas, inspiratif dan cakap.
Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, apa yang dikatakan oleh bapak Jusuf Kalla bahwa terjadi kekosongan kepemimpinan di negeri ini barangkali ada benarnya, namun kekosongan kepemimpinan itu tidak dimakna karena telah hilangnya pemimpin karismatik. Sekali lagi, “Kepemimpinan Kharismatik Sudah Mati” (Penulis, Dosen FKIP UNTAN).