Lonceng Kematian Pendidikan
PENGERTIAN tentang pendidikan telah disampaikan oleh para ahli (pakar), khususnya pakar pendidikan dan juga terdapat pada peraturan dan perundang-undangan yang pada hakikatnya pendidikan itu adalah memanusiakan manusia, antara lain memberikan kemerdekaan dan kebebasan dalam proses pendidikan dan pembelajaran sebagai wujud dari melaksanakan atau menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM).
Yasraf A. Piliang (2005) pada pengantar buku karya John Horgan berjudul; ”The End of Science” mengatakan ”Kematian Ilmu Pengetahuan”, termasuk “Ilmu Pendidikan” yakni ketika ilmu pengetahuan (ilmu pendidikan) diasumsikan telah sempurna dan tidak ada lagi kebaruan (newness) yang bisa diharapkan karena semua telah dijelaskan oleh ilmu pengetahuan sebagai akibat menurunnya penemuan ilmiah.
Jadi matinya ilmu pengetahuan (ilmu pendidikan) justru terjadi ketika ilmu pengetahuan tersebut diyakini sebagai sesuatu yang telah sempurna, tidak perlu dipelajari, tidak perlu diajarkan, tidak perlu diteliti dan tidak perlu dikembangkan. Disamping itu, matinya ilmu pendidikan dampak dari suatu asumsi bahwa praktek pendidikan dan pembelajaran tidak memerlukan ilmu pendidikan. Disimpulkan, matinya pendidikan sebagai dampak dari penyelenggaraan pendidikan tidak berbasis ilmu pendidikan.
Kebermaknaan pendidikan bermula dari kata ”End”, yakni ”akhir” dan ”tujuan”. Artinya keberlanjutan pendidikan sangat tergantung pada apakah terdapat suatu dialog yang serius mengenai arah dan/atau tujuan pendidikan. Tanpa narasi, arah, dan tujuan yang bermakna, maka pendidikan atau persekolahan hanyalah rumah tahanan, bukan sebuah rumah idaman yang memberikan perhatian dan kenyamanan, demikian Neil Postman (2002) dalam bukunya ”The End of Education”. Faktanya, penyelenggaraan pendidikan terbawa arus di jalan-jalan sempit dan di jalan-jalan buntu tanpa mengetahui dan menyadari kemana arah atau tujuan pendidikan itu, seperti: (1) masyarakat pembelajar (learning community) yang merupakan roh pendidikan terasa kering, suasana (admosfir) akademik kurang dirasakan oleh mereka yang berada di lingkungan pendidikan formal, mulai dari jenjang Taman Kanak-Kanak hingga pendidikan tinggi, dialektika di lingkungan pendidikan tidak beda jauh dibanding dialektika yang terjadi di pasar atau di tempat-tempat umum; (2) makna pendidikan dipersempit, yakni sekolah. Mereka yang sekolah dikelompokkan sebagai kaum terdidik atau manusia pembelajar, sementara mereka yang tidak dan putus sekolah dimaknai sebaliknya. Faktanya, banyak mereka yang sekolah/kuliah, namun tidak belajar, bahkan pendidik dan tenaga kependidikan yang bertanggung jawab mendidik mereka juga tidak belajar atau belum menjadi manusia pembelajar, sementara mereka yang tidak sekolah/tidak kuliah terus menerus belajar dan sukses menjalani kehidupannya. Setiap tahunnya, majalah Forbes melaporkan sejumlah orang sukses tanpa sekolah, namun mereka adalah pembelajar keras; (3) kita melihat banyak orang sibuk mengurus pendidikan yang tentu saja menghabiskan sumber daya yang tidak sedikit, baik sumber daya manusia, uang dan waktu. Namun tidak membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Hal ini pertanda bahwa etos kerja mereka kosong; (4) kemampuan skolastik yang terbukti mampu mengantarkan kesuksesan seseorang kurang mendapat perhatian dalam sistem pendidikan, sementara kemampuan akademik dikembangkan karena diyakini sebagai prediktor kesuksesan peserta didik.
Asumsi tersebut terbantahkan. Riset yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley (2003) sebagaimana tertulis pada sebuah buku berjudul “The Millionaire Mind”, menjelaskan bahwa terdapat 100 faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kesuksesan seseorang. Hasil penelitian menyimpulkan nilai baik (NEM, IPK, dan rangking) hanyalah faktor sukses urutan ke-30, faktor IQ urutan ke-21, lulusan dari sekolah dan universitas favorit dunia urutan ke-23. Sepuluh faktor teratas yang mempengaruhi kesuksesan seseorang, adalah kemampuan skolastik, yakni: kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping, kerja keras, kecintaan pada pekerjaan, kepemimpinan, kepribadian kompetetif, hidup teratur dan kemampuan menjual ide. Ternyata faktor keberhasilan ada di dalam diri dan di sekitar kita yang kurang mendapat perhatian serius dalam sistem pendidikan.
Hal yang sama dipertanyakan oleh Robert Kiyosaky (2015) “Why “A” Students Work for “C” Students and “B” Student work for the Government”, maknanya “mengapa banyak lulusan mencapai prestasi unggu (A), namun bekerja di tempat yang kurang (C) atau tidak sesuai prestasinya dengan gaji kurang layak”, demikian sebaliknya.
Bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Mendikbud mengatakan hal yang sama bahwa pendidikan di era disrupsi ini, antara lain ditandai: (a) gelar tidak lagi menjadi ukuran kompetensi; (b) lulusan tidak menjamin kemampuan berkarya, (c) program studi tidak ada korelasinya dengan karier lulusan. (d) akreditasi tidak menjadi jaminan mutu pendidikan;(e) kehadiran di ruang kelas tidak menjamin telah terjadi proses pembelajaran efektif; dan (f) setiap jam mahasiswa berada di dalam kampus tidak selalu relevan dengan masa depannya; (5) dalam proses pembelajaran, teknologi informasi (IT) seringkali berada pada posisi terdakwa hanya untuk membela para pendosa pengguna teknologi yang tidak atau kurang memiliki kecerdasan/literasi digital; (6) dunia pendidikan sering terlambat bedaptasi dan berinovasi menghadapi perubahan disruptif dibanding bidang-bidang kehidupan lainnya. Padahal di hadapan mereka terbentang berbagai fenomena seperti: sebanyak 50% perguruan tinggi di Amerika Serikat dalam 10-15 tahun ke depan bangkrut dan pada saat ini sudah banyak mati suri, sebanyak 65% siswa saat ini bakal mendapat pekerjaan dimana pekerjaan untuk mereka belum ada, sementara ribuan pekerjaan yang ada menghilang setiap tahunnya, dunia usaha dan dunia industri (DUDI) tidak lagi mempersyaratkan ijasah dalam penerimaan (rekrutmen) pegawainya, dan peran manusia telah tergantikan oleh robot (artificial intelligence) dan fenomena “the main is no longer the main”, yakni apa yang dulunya menjadi kekuatan, sekarang belum tentu menjadi kekuatan lagi, boleh jadi menjadi beban, demikian Jamil Salmi, seorang pakar pendidikan Bank Dunia dan Clayton Christensen selaku pakar disrupsi mengatakan: (7) informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari tahun ke tahun semakin banyak saja mereka yang berpendidikan tinggi (sarjana, magister dan doctor) ditangkap karena melakukan tindak kejahatan atau korupsi; (8) pintu kebebasan berekspresi terbelenggu sehingga menyulitkan untuk berinovasi dan berkreasi di bidang apa saja.
Robertus Robet mengatakan, “Banyak dosen dan mahasiswa dihukum karena mengajukan protes dan kebebasan akademik Indonesia jatuh ke titik nadir”, dikutip dari Tempo, 19 September 2021. Dampak ikutannya sangat banyak, antara lain: lahirnya generasi asal bapak senang dan generasi yang tidak memiliki kemampuan berpikir kritis (critical thingking) yang sangat diperlukan di era baru peradaban ini.
Kondisi pendidikan dan pembelajaran tersebut di atas oleh para pakar pendidikan dimaknai sebagai “Lonceng Kematian Pendidikan”.
Pertanyaannya, (1) kenapa telinga mereka tuli dan mata mereka buta, tidak mendengar dan melihat suara lonceng tanda kematian pendidikan tersebut?; (2) apakah tanda-tanda kematian pendidikan tersebut bisa dihentikan?. Jawabannya, “Insyaallah Bisa”. Jika peringatan melalui suara lonceng (tanda-tanda) kematian pendidikan tersebut tidak segera dihentikan atau tidak disikapi secara serius, maka pada saatnya nanti tidak mustahil akan terjadi matinya pendidikan. Rhenald Kasali (2015) dalam bukunya “Change” mengingatkan “Tidak peduli berapa jauh jalan salah yang Anda lalui. Putar arah sekarang juga”.
Banyak usaha dapat dilakukan untuk menghentikan suara lonceng kematian pendidikan, namun karena keterbatasan ruang opini ini, penulis kemukakan beberapa hal saja (lebih lengkap dijelaskan penulis pada buku dengan judul yang sama), yakni sebagai berikut: (1) memperkuat pondasi atau pilar pendidikan, antara lain pondasi filosofis, psikologis, sosiologis, historis, ekonomi, politik dan hukum; (2) penyelenggaraan pendidikan berbasis ilmu pendidikan adalah suatu keharusan. Sehubungan hal tsb, Jurusan Ilmu Pendidikan di lingkungan Pendidikan Guru (IKIP, FKIP, STKIP) harus diperkuat; (3) konvergensi ilmu pengetahuan yang telah dimulai sejak lama (era renansance) dari kota kecil Medisi terbukti menjadi awal peradaban berkemajuan terus dikembangkan. Alhamdulillah kebijakan merdeka belajar yang digagas oleh bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara dan dikembangkan oleh bapak Nadiem Anwar Makarim sekarang ini telah mengacu pada konsep konvergensi saint tersebut, diharapkan kebijakan merdeka belajar tersebut mampu melahirkan generasi pembelajar, yakni peserta didik yang belajar dimana saja, belajar apa saja dan belajar kapan saja; (4) UUD RI 1945 mengamanahkan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa, sekali lagi “Kehidupan Bangsa”. Oleh karena itu, sekolah dan universitas kehidupan yang terbukti mampu melahirkan dan membangun generasi tangguh perlu terus dikembangkan secara terintegrasi, dimulai dari lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat; (5) bapak presiden di hadapan gubernur Jawa Tengah dan para rektor yang terhimpun dalam Majelis Rektor Perguruan Tinggi Negeri beberapa hari lalu mengingatkan perlunya transformasi pendidikan dan pembelajaran untuk melahirkan manusia unggul dan utuh; dan (6) kemampuan skolastik harus dikembangkan melalui penguatan pendidikan karakter di semua jenjang pendidikan.
Oleh Dr. Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]