Manajemen Emosi
Daniel Golemen (1999) dalam bukunya “Emotional Intelligence” membagi dimensi perasaan (emosi) meliputi: (1) kesadaran diri; (2) motivasi; (3) pengakuan diri; (4) empati; dan (5) kecakapan membina hubungan dengan orang lain. Kemudian lima dimensi emosi tersebut disederhanakan menjadi empat dimensi emosi dilengkapi beberapa kompetensi, yakni: (1) kesadaran diri, meliputi kompetensi: kesadaran diri emosi, penilaian diri yang akurat dan kepercayaan diri; (2) pengelolaan diri, meliputi kompetensi: pengendalian diri, transparansi, kemampuan menyesuaikan diri, prestasi, inisiatif dan optimisme; (3) kesadaran sosial, meliputi kompetensi: empati, kesadaran berorganisasi dan pelayanan; (4) pengelolaan relasi, meliputi kompetensi: inspirasi, pengaruh, mengembngkan orang lain, katalisator perubahan, pengelolaan
konflik dan kerja tim dalam kolaborasi, dikutip dari Daniel Golemen, Richrd Boyatzis dan Annie McKee (2004) dalam bukunya “Primal Leadership: Realizing The Power of Emotional Intelligence”. Sebelumnya, menghabiskan waktu cukup lama para ilmuan mempercayai bahwa keberhasilan dalam kehidupan ini dipengaruhi, bahkan ditentukan oleh faktor kecerdasan intellectual (IQ), dampaknya skor test IQ digunakan untuk berbagai kepentingan, antara lain: satu persyaratan dalam rekrutmen pegawai dan seleksi penerimaan peserta didik baru di semua jenjang pendidikan.
Pada tahun 1990 Peter Salovery (psikolog) dari Harvard University dan John Meyer dari University 0f New Hampshire untuk pertama kalinya melontarkan pentingnya kualitas emosi atau perasaan bagi keberhasilan hidup Sebagian besar umat manusia di muka bumi ini. Pada tahun 1995 Daniel Golemen menulis sebuah buku berjudul “Emotional Intelligence”. Buku tersebut terjual laris (international best seller), menyebar luas dan membangunkan kesadaran baru umat manusia akan pentingnya perasaan atau emosi bagi
kehidupan. Paul Ekman (2008) dalam bukunya “Emotions Revealed: Undertanding Faces and Feelings” menegaskan bahwa “kita hidup Bersama emosi dan emosi menentukan kualitas hidup kita”. Penelitian mereka membantah asumsi (menggeser paradigma ilmu pengetahuan) yang selama ini menyatakan bahwa IQ merupakan predictor utama bagi keberhasilan berubah menjadi faktor EQ.
Sejak itu, studi dan riset kecerdasan emosi berkembang pesat. John P. Kotter dan S. Cohen (2014) dalam bukunya “The Heart of Change” menyatakan bahwa jantung perubahan bukan berada dalam pikiran, melainkan berada pada perasaan (emosi). Dikatakan, “Orang mengubah apa yang mereka lakukan bukan karena mereka diberi analisis yang mengubah pikiran mereka, namun lebih karena mereka ditunjukkan sebuah kebenaran yang mempengaruhi perasaan (emosi) mereka”.
Di bagian lain, Daniel Golemen (1999) mengatakan bahwa kecerdasan emosi 80-96% menentukan kesuksesan seseorang, pertumbuhannya lebih awal dan tidak dibatasi oleh usia, manusia menggunakan pikiran emosional sebelum pikiran rasional-logis, artinya pikiran emosional lebih tua dari pada pikiran rasional-logis dan komposisinya pada otak lebih besar.
Riset yang dilakukan oleh Thomas J. Stanley (2003) sebagaimana tertulis pada sebuah buku berjudul “The Millionaire Mind”, menjelaskan hal yang sama bahwa nilai baik sebagaimana tertera pada NEM, IPK, dan rangking hanyalah faktor sukses urutan ke-30, faktor IQ urutan ke-21, lulusan dari sekolah dan universitas favorit dunia urutan ke-23. Sepuluh faktor teratas yang mempengaruhi kesuksesan seseorang, yakni: kejujuran, disiplin keras, mudah bergaul, dukungan pendamping, kerja keras, kecintaan pada pekerjaan, kepemimpinan, kepribadian kompetetif, hidup teratur dan kemampuan menjual ide. Ternyata faktor keberhasilan dalam hidup dan kehidupan ini lebih ditentukan oleh kecerdasan social dan sofskill yang ada di dalam diri kita.
Studi mengenai manajemen emosi marak dilakukan, diyakini pengelolaan emosi dengan benar sangat berpengaruh terhadap perubahan perilaku positif, demikian sebaliknya. Contoh kasus; Helen Keller di usia 17 bulan terserang penyakit dan tidak tertolong mengakibatkan ia buta dan tulis secara total, setelah menderita dua ketunaan tersebut, ia menjadi anak hiperaktif dan cenderung agresif yang sulit dikendalikan. Kedua orangnya tidak mampu mengasuhnya dan menyerahkan tugas pengasuhan kepada seorang suster Zulivan. Singkat cerita melalui sentuhan tangan dan hati penuh kesabaran suster Zulivan, Helen Keller akhirnya mencapai prestasi akademik sangat terpuji (summa comlaude) dari sebuah perguruan tinggi terbaik dunia Harvard University. Kisah yang sama dialami oleh Shella seorang anak dari sebuah Sekolah Luar Biasa (SLB) dalam asuhan Torey Hayden, singkat cerita pola asuh yang didasarkan pada kecerdasan emosi, akhir Shella mengalami perubahan perilaku menjadi anak normal dan melanjutkan pendidikan bersama peserta didik normal lainnya, akhirnya mencapai prestasi akademik gemilang.
Benjamin Carson (kandidat presiden Amerika Serikat), saat di Sekolah Dasar sering dihina oleh teman-teman kelasnya karena kulit hitam, hanya terlihat putih saat ia membuka mulutnya terlihat giginya berwarna putih kekuningkuningan. Karena sering mendapat penghinaan, Carson pernah melakukan percobaan pembunuhan terhadap teman yang menghinanya, namun tidak membawa korban. Peritiwa tersebut menjadi head line berita di seluruh benua Amerika, bermacam-macam spekulasi hingga memunculkan rasisme (konflik warga kulit hitan dan kulit putih), singkat cerita Carson tidak naik kelas, namun ibunya Sonya dan seorang gurunya dengan sabar membimbingnya, setelah peristiwa tersebut, ia menjalani proses pendidikan yang baik dan mencapai prestasi gemilang, akhirnya di usia 27 tahun Carson tercatat sebagai seorang dokter ahli bedah menjadi keahliannya dan berhasil untuk pertama kali memisahkan bayi kembar di bagian belakang.
Albert Einsten dan Thomas Alva Edison sering kali dipergoki oleh guru terlena dalam lamunan memahami masalah, namun gurunya salah persepsi sehingga memberikan respons yang keliru, akibatnya mereka tidak naik kelas, dikutip dari John Gray (2000) dalam bukunya “Children are from Heaven”. Isaac Newton seorang pemikir cemerlang dan orisinil merasakan tidak bisa belajar secara efektif langsung dari dosennya di Cambridge University, nyaris tidak peduli (tidak hadir) mengikuti perkuliahannya hampir saja tidak lulus dan drop out. Namun tanpa sepengetahuan pembimbingnya, ia melangkah lebih jauh meninggalkan para dosennya untuk mengembangkan gagasan-gasasan matematika dan karya ilmiah paling revolusioner terbaru milik Rene Descartes seorang genenius dari
Prancis, dikutip dari John Farndon (2011) dalam bukunya “The World’s Greatest Ide”. Dunia dibangunkan dari kesadaran kolektif pentingnya manajemen emosi ini, Daniel Golemen, Richrd Boyatzis dan Annie McKee (2004) mengutip hasil penelitian yang menyatakan bahwa suasana hati (emosi) yang baik membuat orang memandang orang lain atau peristiwa dengan cara yang lebih positif. Pada gilirannya membuat orang lebih optimis tentang kemampuannya untuk mencapai tujuan, meningkatkan kreativitas dan ketrampilan dalam mengambil keputusan dan membuat orang menjadi suka membantu”, sebaliknya “isolasi sosial merupakan penyebab rendahnya kecerdasan emosi yang berakibat menurunnya prestasi kerja’, dikutip dari Lawrence E. Shapiro (1997) dalam bukunya “How to Raise A Child with A High Emotional Intelligence”. Daniel Golemen (1999) dalam bukunya “Working with Emotional Intelligence” mengingatkan agar kita tidak keliru mempersepsi kecerdasan emosi tersebut karena berdampak negatif atau kurang baik bagi kepribadian manusia. Ia mengatakan kecerdasan emosi tidak hanya berarti “besikap ramah”. Pada saat-saat tertentu yang diperlukan mungkin bukan bersikap ramah, melainkan bersikap tegas yang barangkali tidak menyenangkan, tetapi mengungkapkan kebenaran yang selama ini dihindari, dan kecerdasan emosi bukan berarti memberikan kebebasan kepada perasaan untuk berkuasa (memanjakan perasaan), melainkan mengelola perasaan sedemikian sehingga terekspresikan secara tepat dan efektif yang memungkinkan orang lebih baik menuju sasaran bersama.
Aristoteles seorang filosof menasehati kita, “Semua orang bisa marah karena marah itu mudah. Namun marah dengan tujuan yang jelas, kepada orang (sasaran) yang tepat dengan bobot yang sesuai, dan pada di waktu yang tepat.”, terbukti bahwa marah itu sulit, akhirnya yang tadinya ingin marah, tidak jadi marah.
Dalam mengelola emosi ini penulis selalu menyarankan: (1) mengimplementasikan nasehat Aristoteles di atas, jika harus marah, maka marahlah dengan tujuan yang jelas, tepat sasaran, bobot yang sesuai dan pada waktu yang tepat; (2) berikan pelayanan yang menyenangkan, murah senyum jangan cemberut: (3) ciptakan hubungan harmonis, biasa dilakukan secara interpersonal, (4) selalu belajar memahami emosi orang lain dengan sabar, dimulai dari kasus kecil atau sederhana, dilakukan pada saat gelombang otak dalam status “Alfa” atau suasana rileks, dan seterusnya (Penulis, Dosen FKIP
UNTAN).
[learn_press_profile]