Melawan Lupa
LUPA adalah ketidakmampuan mengingat pesan (pengetahuan dan pengalaman) yang pernah dilihat, didengar, dirasakan dan dialaminya.
Lupa milik semua orang, tidak seorangpun di dunia ini yang terbebas dari lupa, yang membedakan seseorang dari lainya adalah tingkat kelupaan atau derajat ingatan setia seseorang, ada seseorang sering atau selalu lupa dan ada pula seseorang yang sesekali saja lupa, selebihnya ingat.
Tingkat lupa dan kemampuan daya ingatan setia seseorang sangat berpengaruh terhadap kewaspadaan, kesiapan dan tindakan dalam menghadapi setiap masalah yang akan terjadi. Selain itu tingkat atau derajat lupa seseorang mengambarkan akhlak, karakter atau kepribadian seseorang.
Beberapa hari lalu, terjadi peristiwa bunuh diri di sebuah gereja di Makasar, dilakukan oleh pasangan suami istri yang baru enam bulan menikah. Banyak diantara kita lupa atau kurang waspada, bahwa kejadian yang sama belum lama ini terjadi di tempat-tempat lain di Indonesia, seperti di Surabaya dan di Sumatera. Bapak Joko Widodo selaku Presiden RI mengutuk peristiwa tersebut seraya mengingatkan agar kita waspada (tidak lupa) terhadap ancaman kejahatan kemanusiaan tersebut.
Fenomena lupa yang paling dominan terjadi pada diri manusia sekarang ini adalah mudah lupa atas jasa atau pengorbanan orang lain. Pribahasa lama mengatakan, “Lupa Kacang Akan Kulitnya” dan “Menolong Anjing Terjepit”. Contoh kasus, ketika berkampanye ingin menjadi seorang kepala daerah dan/atau presiden, dan menjadi anggota legislatif serta jabatan-jabatan lainnya, bertabur janji disampaikan, namun setelah berhasil memenangkan pemilihan dan dilantik menjadi seorang pemimpin dan/atau jabatan-jabatan lainnya secepat itu pula ia lupa dengan janji-janjinya pada konstituen; pendukung dan pemilihnya. Mereka yang ingkar (lupa) akan janji-janjinya tersebut dapat digolongkan kepada orang munafik.
Kasus lain, banyak orang telah berjasa dan berkorban mengasuh dan membesarkan anak-anak yang tidak berdaya (kaum dhu’afa). Anak-anak tersebut diberikan makan, diberi pakaian, diberi sandang, disekolahkan dari sejak sekolah dasar hingga ke perguruan tinggi. Belum cukup, dicarikan pekerjaan, setelah itu mereka berkeluarga dan berumah tangga. Namun tidak sedikit dari mereka yang telah dipeliharan dan dibesarkan seperti anak kandung sendiri itu melupakan jasa orang tua asuhnya.
Pertanyaannya; (1) Mengapa seseorang mudah lupa terhadap apa yang pernah dilihat, didengar, dirasakan dan dialaminya?; dan (2) Benarkah mereka lupa?, barangkali mereka tidak lupa, hanya kita yang pernah merasa membantu mereka berharap pamrih atau balas jasa atas pengorbanan yang diberikan kepadanya.
Dua pertanyaan tersebut menggambarkan bahwa lupa adalah konsep dan perilaku yang tidak sederhana yang kita pahami selama ini.
Berbagai alasan, seseorang mudah lupa atas apa yang mesti diingatnya dalam hidup ini, antara lain sebagai berikut..
Confusius, seorang filosof China, hidup ribuan tahun sebelum masehi mengatakan, “Yang saya lihat dan dengar, Saya Lupa. Yang saya, lakukan. Saya Ingat”. Filosof tersebut mengajarkan kepada kita agar belajar lebih bermakna melalui “Learning by Doing” atau belajar sambil berbuat karena disanalah proses pembelajaran sesungguhnya.
Boleh jadi, seseorang menjadi lupa karena sesuatu yang pernah dilihat dan didengarnya tidak sering diulang. Ibn Miskawaih (1998) dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”. Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids”mengatakan hal senada bahwa “otak membutuhkan pengulanganuntuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”. Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka,bahwa otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif, pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) dalam bukunya berjudul “Adversity Quotient”. Alasan mudah lupa juga bisa disebabkan karena terlalu banyak yang harus diingat, otaknya tidak mampu menampung pesan yang masuk ke dalam memori jangka panjangnya. Orang mudah lupa dampak dari cara memasukkan informasi baru ke dalam pikirannya tidak melalui rekonstruksi pengetahuan dan pengalaman secara benar dengan menggunakan bahasa atau cara sendiri. Dalam banyak kasus, sebagian besar manusia memasukkan pesan ke dalam pikirannya melalui indoktrinasi (pandangan behavioristik) bersifat satu arah (harus begini, pokoknya begini dan seterusnya), tidak melalui proses dialog padahal banyak informasi bersifat dilematis yang memerlukan reasoning dan berpikir kritis. Viktor Frank, guru besar Logotrafi mengilustrasikan “Jika Anda Meminta Orang Lain Agar Tersenyum, maka Mereka (Orang Lain) tersebut Harus mengerti Mengapa Mereka Harus Tersenyum”. Jika seseorang mengatakan “Jangan Korupsi”, maka ia (Komunikan) harus mengerti mengapa mereka tidak boleh korupsi”. maknanya seorang komunikator harus mampu memberikan penjelasan dan pemahaman terhadap pesan yang disampaikannya. Melibatkan emosi adalah penting dalam menyampaikan pesan kepada seseorang yang biasa dilakukan oleh guru melalui cerita atau dongeng agar pesan tersebut sulit dilupakan atau lebih bermakna. Maaf, pada saat ini banyak orang tua dan guru menyampaikan pesan (pengetahuan dan pengalaman) tidak melibatkan unsur emosi, padahal komunikasi efektif yang mampu mengubah perilaku manusia justru mempersyaratkan keterlibatan emosi tersebut, demikian John Kotter (2018) dalam bukunya “The Heart of Change”. Dalam banyak kesempatan, Prof. Dr. Muhajir Effendy selaku Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI menambahkan bahwa, “mudah lupa atau ingatan kurang setia merupakan dampak dari kurangnya asupan gizi pada ibu yang sedang mengandung. Selama ini kita lebih mengutakankan asupan gizi pada bayi yang baru dilahirkan. Melawan rasa sakit hati terhadap seseorang yang mudah lupa terhadap jasa atau pengorbanan orang lain, penulis lakukan melalui berpikir positif, bahwa sikap lupa tersebut adalah sebuah ujian Allah SWT terhadap keikhlasan kita. Ketika seseorang lupa atas kebaikan dan pengorbanan kita kepadanya. Sampaikan pada pikiran dan perasaan kita bahwa ini adalah Ujian Keikhlasan dari Allah SWT. Melalui sekolah dan universitas kehidupan, Allah SWT mengajarkan kepada kita, “Jika jasa dan pengorbananmu tidak dihargai, maka bersabarlah karena Allah SWT sedang menguji keikhlasan dan ketulusanmu”. Lulus dari ujian keikhlasan dan ketulusan tersebut menjadi modal penting untuk suskses pada hidup dan kehidupan berikutnya, Sabarlah Saudaraku! Selanjutnya, melawan lupa dapat dilakukan melalui pemahaman terhadap sebab lupa itu terjadi, antara lain: (1) lihat, dengar dan lakukan, (2) sering mengulang apa yang pernah dilihat, didengar dan dilakukan pada masa lalu; (3) memberi makna terhadap informasi yang diterima agar informasi tersebut tersimpan dalam memori jangka panjang; (4) diperlukan cara yang cerdas dalam memasukkan pesan, antara lain merekonstrusi pesan tersebut, disertai emosi dan melalui proses dialektika; dan (5) memperhatikan asupan gizi pada ibu yang sedang mengandung. oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN.[learn_press_profile]
Tag:dr aswandi, fkip, informasi, lintas pakar, mahasiswa, opini, penelitian, rektor, untan