Menguji Intelektual Kita
SELAMA ini, sebutan kaum intelektual, cerdik pandai maupun cendekiawan melekat pada mereka kaum terpelajar, lebih khusus mereka yang berpendidikan tinggi. Sekarang ini, jika ditanya siapa, dimana dan apa yang dilakukan kaum intelektual?. Jawabannya semakin tidak jelas. Ketidakjelasan akan keberadaan kaum intelektual sekarang ini dampak ketidakefektifan gerakan kaum intelektual itu sendiri, bahkan tidak jarang kaum intelektual telah beralih profesi menjadi “Intelektual Tukang”, yakni bekerja sesuai pesanan, mengorbankan idealisme, kaedah dan etika kebenaran.
Mengutip pendapat Nurchalish Majid bahwa keefektifan gerakan kaum intelektual dalam jangka panjang, ditentukan oleh otentitas ide-ide visionernya, bukan semata oleh kesemarakan lahiriah dari kegiatan-kegiatan adhocnya”.
Daoed Joesoef (2011) dalam bukunya “10 Wacana tentang Aneka Masalah Kehidupan Bangsa” mengamati kondisi yang sama mengenai idealisme kaum intelektual. Beliau mengatakan, “Semakin meredupnya idealisme kehidupan sehari-hari kaum yang umumnya berpenampilan keren (parlente). Idealisme mereka semakin tidak tampak, bahkan di kalangan kaum elit yang merasa terpanggil untuk memegang tampuk pimpunan di bidang-bidang yang menentukan bagi kehidupan masyarakat, berbangsa, bernegara dan bertanah air. Kecendrungan inilah yang benar-benar memprihatinkan”.
Dalam usaha membangkitkan krisis intelektualitas, para intelektual jangan membuat kekeliruan berupa harapan pertolongan dari orang lain, mengharapkan uluran tangan dari luar kelompok termasuk dari penguasa sebab krisis intelektual ini bukan soal cara menulis, bukan krisis berbicara dan bertindak, melainkan menyangkut kepribadian intelektual sejati.
Penyelamatan kaum intelektual dan/atau pemulihan peran kaum intelektual bukanlah dengan jalan mempersatukan mereka dalam wadah organisasi formal, melainkan menjaga kemandirian nuraninya dan individualitasnya yang tidak bisa dijual belikan.
Citra intelektualitas seseorang tidak bisa dipulihkan melalui jalan kuliah abal-abal, mencari gelar kehormatan akademik (doctor honoris causa) dan gelar profesional akademik fiktif (profesor, tetapi tidak mengajar) guna dibubuhkan di depan nama sang pseudo intelektual. Mereka lupa, bahwa citra intelektualitas seperti itu menghilangkan hak moral pada dirinya. Dan lembaga pendidikan tinggi yang memberikan gelar akademik tersebut dipertanyakan intelektualitas dan integritasnya sebagai lembaga pendidikan tinggi yang melahirkan manusia unggul untuk Indonesia maju, beradab dan bermartabat.
Untuk menguji intelektual kita, diperlukan definisi yang jelas tentang makna dan karakteristik dari apa yang disebut intelektual itu.
Definisi aktual tentang “seorang intelektual seharusnya meliputi tidak hanya sejenis pemikiran tententu, tetapi juga suatu hubungan dengan pembangkangan sosio-budaya, paling sedikit secara potensial. Pembangkangan tersebut didasarkan pada gagasan-gasasan yang telah diperhitungkan berdasarkan asumsi bahwa ia dapat dimasyarakatkan dan berlaku secara universal”.
Daoed Joesoef (2011) mengemukakan bahwa seorang intelektual dapat didefinisikan dari seperangkat kriteria berdimensi: (1) suatu aksi penghayatan profesional yang berbobot budaya, maknanya adalah seorang intelektual haruslah seorang yang qualified dan diakui untuk berbicara mengenai hal-hal yang menyangkut sistem nilai (budaya); (2) suatu peran sosio-politik, menunjukkan pentingnya kaitan antara pembangkangan intelektual dan struktur sosio-politik; (3) suatu kesadaran yang mengacu ke universialitas, baik kesadaran maupun perasaan, juga mencakup nilai dan kognisi; (4) suatu pembangkangan yang bertanggung jawab, menegaskan bahwa ia pasti bukan anarki dan secara sadar sengaja dilakukan tidak secara anarkis-destruktif dan tidak selalu berusaha mengubah status quo; dan (5) suatu pancaran nurani yang bersih dan murni. Membuktikan nurani sang intelektual itu pengkritik tidak hanya mendikte pembangkangannya tetapi sekaligus menetapkan batas waktu pengkritikan itu.
Selanjutnya, dari apa yang pernah terjadi dalam perjalanan sejarah dapat disimpulkan “beberapa karakteristik dari apa yang disebut sebagai intelektual, yakni sebagai berikut: (1) seorang intelektual mempunyai komitmen pada gagasan (idea). Ia adalah pencetus dan pengawal gagasan, ia mempertaruhkan gagasan dalam usahanya membangkitkan kesadaran masyarakat tentang sumber laten dari kesulitan dan ketidakpuasan, ia lakukan dalam bentuk kritik atau pembangkangan baik secara lisan maupun tulisan, ia mengubah konflik kepentingan menjadi konflik gagasan. Lao Tzu seorang filosof China yang hidup ribuan tahun sebelum masehi telah mengingatkan,”Jika ada kesalahan segera kritik, kesalahan yang tidak dikritik akan menjadi kebenaran”.
Hari ini, banyak diantara kita telah diberi nikmat atau petunjuk oleh Allah SWT tentang sesuatu itu benar dan salah, namun kita tidak kuat untuk mengatakan bahwa itu benar dan ini salah karena sebahagian besar diantara kita telah menjadi kancil pilek (yang penting aku selamat, yang lain terserah); (2) seorang intelektual tidak pernah jemu membahas gagasan. Namun anehnya, banyak lembaga pendidikan tinggi senyap dari hirup pikuk membahas gagasan, dan atmosfir akademik tidak berkembang atau mati suri; (3) seorang intelektual selalu concern memikirkan dan mencari kaitan antara satu bidang keilmuan dan bidang keilmuan lainnya. Sejarah membuktikan, Zaman Renansance lahir dari pertemuan (konvergensi) ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, kenapa sampai hari ini masih ditemukan banyak ilmuan ortodok yang menganggap bahwa pengetahuan itu linear, sementara dunia sudah bicara dan telah mengimplmentasikan konvergensi saint dalam kehidupan; (4) Seorang intelektual selalu membuka dirinya untuk bertukar pikiran. Anehnya kelompok diskusi di dunia kampus menjijikkan, tidak banyak yang berminat dan bersemangat mengikuti kegiatan tukar pikiran tersebut; (5) dalam mempertaruhkan gagasannya, kaum intelektual berdiri sendiri secara kokoh, tidak lapuk karena hujan dan tidak lekang karena panas, ia kokok sekokoh batu karang, ia bagaikan elang rajawali berani terbang sendirian dan tidak mencari popularitas picisan: dan (6) seorang intelektual mempunyai komitmen moral yang kuat, punya kepribadian yang nyata terhadap nilai di masyarakat”, dikutip dari Daoed Joesoef (2011).
Sejak dahulu dan berlanjut hingga sekarang ini, banyak kaum intelektual tidak merasa puas sekedar menjadi penggagas dan ingin lansung menerapkan gagasan, menjadikan dirinya bagian dari estabilishment dan bagian dari power complex menjadi oportunis mengabdi kehendak penguasa tidak terkecuali dalam tindakan ketidakadilan yang semestinya ia lawan, mereka sudah kehilangan integritas, belum selesaikan dengan urusan dirinya sendiri, takut lapar dan kehilangan nuraninya, maka jatuhlah mereka ke jurang “Pengkhianat Kaum Intelektual”, demikian Julian Benda seorang intelektual berkebangsaan Prancis.
Setelah membaca uraian di atas, tanyakan pada diri sendiri “Apakah pembaca dapat digolongkan kaum intelektual atau intelektual pengkhianat”?. Jawab sendiri!
[learn_press_profile]
Tag:dr aswandi, informasi, lintas pakar, pakar untan, untan

