Menyiapkan Pendidikan Menuju Normal Baru
Normal Baru (The New Normal)
Akhir-akhir ini, normal baru (The New Normal) menjadi sebuah frasa yang begitu populer. Namun, ada pula yang menukargantikan istilah tersebut dengan beberapa istilah berikut ini: “tatanan kehidupan baru”, kata bapak Joko Widodo, “adaptasi kebiasaan baru”, kata bapak Ridwan Kamil, “transisi menyambut kenormalan baru”, kata bapak Anies Baswedan dan bapak Bima Arya, dan “era permulaan baru”, kata Williem Bridge selaku pakar perubahan.
Harus kita sadari bahwa istilah “Normal Baru” tidak sebatas pengertian simantik atau bahasa, dan bukan sesuatu yang baru, melainkan telah ada sejak lama atau memiliki sejarah panjang dan penuh makna.
Konsep normal baru terdapat pada sebuah artikel ditulis Henry Wise Wood (1918), judul sebuah film “Western” (1966), John Naisbit (1990) menggambarkan era baru sebagai “Megatrend”, Vicki Taylor (2002) menulis artikel berjudul; “The New Normal: How FDNY Firefighters are Rising to The Challenger of Life September 11”, seorang musisi Roger Mc Namee (2003) menggunkan kalimat singkat “The New Normal“ ini menjadi judul bukunya untuk menjelaskan suatu lingkungan dimana berbagai kemungkinan akan hadir bagi mereka yang mau bermain dengan aturan baru untuk jangka lama, Sebuah buku best seller international ditulis Mike Ryan berjudul “The New Normal: Great Opportunities in Time of Great Risk”, dan Mohamed El-Erian dalam ceramahnya berjudul “Navigating the New Normal in Industrial Countries” pada tahun 2010 di Forum Dana Moneter Internasional (IMF).
Makna dari normal baru tidak boleh disederhanakan sebatas pelonggaran PSBB, pembukaan mall, pertokoan dan transportasi publik. Menurut Achmad Yurianto selaku juru bicara pemerintah dalam percepatan penanganan COVID 19, tatanan kehidupan baru dimaknai sebagai kehidupan yang produktif dan aman dari wabah virus corona. Menurut penulis, normal baru memiliki makna yang lebih luas atau komprehensip dari pada sebatas kehidupan produktif dan bebas dari virus corona.
Penulis tegaskan bahwa, konsep “Normal Baru (The New Normal)” tentu saja berbeda dengan konsep “Normal Lama (The Old Normal)”. Mengapa demikian?, penulis khawatir kita salah paham memaknai normal baru tersebut, dimana normal baru dipahami kembali kepada pikiran, sikap, dan tindakan atau kebiasaan lama sebelum pandemik virus korona. Faktanya, penulis sering mendengar pasca pandemik corona nanti, kehidupan kita kembali enak, karena kita akan kembali mengajar secara tatap muka, kembali berkumpul, orang tua tidak lagi disibukkan menemani atau membimbing anak-anaknya belajar di rumah, tidak lagi menggunakan masker yang selama ini dirasakan 2 mengganggu pernapasan, dan setiap saat tidak lagi harus mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir yang dirasakan sangat merepotkan. Jika demikian berarti, kita belum berada di era normal baru melainkan kembali kepada tatanan kehidupan normal lama.
Achmad Yurianto selaku Juru Bicara Pemerintah Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19. seringkali mengatakan bahwa kita tidak mungkin kembali pada situasi sebagaimana sebelumnya (normal lama), oleh karena itu kita harus berubah”.
Kembali pada tatanan kehidupan baru, ditanggapi beragam oleh masyarakat, ada yang pro dan kontra. Hal tersebut adalah sesuatu yang wajar, sepanjang diniatkan untuk kehidupan yang lebih baik dan dilakukan berdasarkan kajian ilmiah yang kredibel.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan beberapa syarat sebelum pemerintah menerapkan normal baru, antara lain: memastikan penularan terkendali, sistem kesehatan dalam keadaan baik, jaminan langkah pencegahan di lingkungan kerja, mencegah kasus impor covid, dan memastikan kesadaran dan partisipasi masyarakat. Selain itu, pemerintah menentukan tiga kriteria pengurangn PSBB, yakni epidemologi dengan indikator Rt dibawah 1 selama dua minggu, sistem kesehatan dengan indikator, baik infrastruktur kesehatan maupun tenaga medis tersedia, dan surveilans dengan indikator jumlah tes persatu juta penduduk tidak kurang dari 3.500 dan dilaksanakan secara masif.
Memperhatikan dan mempertimbangkan persyaratan dan kriteria tersebut di atas, pakar epidemiologi Universitas Indonesia Pandu Riono menilai kenormalan baru (new normal) belum dapat terlaksana secara maksimal, jika indikator kesehatan belum terpenuhi. Beliau mempermasalahkan akurasi atau keabsahan data covid 19 sehingga sulit menghitung angka reproduksi number, dikutip dari You Tube Kompas TV, Sabtu, 30 Mei 2020.
Bapak Jusuf Kalla memperkirakan tatanan normal baru akan berlangsung minimal 3 (tiga) tahun. Itupun, jika vaksin covid 19 dapat ditemukan pada Februari 2021 dan digunakan di Indonesia pada Agustus dan September 2021, dikutip dari Akurat. Com, Sabtu, 30 Mei 2020.
Beberapa hari lalu, Tiongkok (China) dan Korea Selatan memutuskan kembali pada tatanan hidup baru (new normal), namun tetap mengikuti protokol kesehatan. Dalam hitungan hari berada di fase normal baru terjadi loncatan wabah yang sangat signifikan (79 kasus), 67 (85%) dari kasus baru tersebut terjadi ibu kota negara (Seoul). Akhirnya negara ginseng tersebut kembali berlakukan pembatasan sosial.
Fakta di atas, sejalan dengan pernyataan yang sering disampaikan oleh epidemiolog Universitas Indonesia, bapak Pandu Riono, beliau tidak bosan-bosannya mengingatkan, “Jika tetap memaksakan diterapkannya fase normal baru, sementara persyaratan dan kriteria yang telah ditentukan belum terpenuhi, maka bersiap-siaplah menanggung peningkatan kasus”, dikutip dari Kompas, 29 Mei 2020.
Transisi Sebelum Normal
Baru Berdasarkan uraian tersebut, penulis berpendapat bahwa sebelum menetapkan kembali pada tatanan kehidupan baru atau new normal, sebaiknya didahului masa atau fase transisi, yakni suatu fase yang sangat menentukan berhasil tidaknya fase permulaan baru (new normal) nantinya.
Berdasarkan teori perubahan, euporia membicarakan “The New Normal” dengan segala skenario dan SOP sebagaimana terjadi akhir-akhirnya adalah rancu, menurut penulis lebih tepat menggunakan istilah “Fase Transisi” sebagaimana diutarakan oleh bapak Anies Baswedan selaku Gubernur DKI, bapak Bima Arya selaku Wali Kota Bogor dan adaptasi kebiasaan baru oleh Ridwan Kamil selaku Gubernur Jawa Barat.
Asumsi di atas, penulis dasarkan pada pendapat William Bridge (2005) dalam bukunya; “Managing Transitions” bahwa sesungguhnya masalah kita hingga saat ini bukanlah kurang dan rumitnya perubahan itu, melainkan ketidakefektifan mengelola setiap fase perubahan.
Memperhatikan gambar di atas, setidaknya ada dua fase perubahan yang harus dilalui sebelum melakukan fase permulaan baru (new normal), yakni fase pertama: fase pengakhiran, kemudian dilanjutkan fase kedua, yakni fase transisi, yakni suatu proses dimana orang keluar dari dunia lama dan masuk ke dunia baru atau dimulai dengan suatu pengakhiran dan diakhiri dengan suatu permulaan.
Permulaan sangat tergantung pada pengakhiran, atau permulaan sangat ditentukan oleh kualitas pertaubatan. Namun sayangnya banyak orang tidak suka mengakhirinya, karena telah terperangkap dalam “zona kenyamanan” atau tersanda oleh sebuah kebiasaan sehingga sulit keluar dari kotak hitam.
Hampir semua orang mengalami pengakhiran yang sulit, kehilangan psikologis yang sangat besar, merasa terombang ambing, kecemasan meningkat dan motivasi merosot, mudah terpolarisasi karena cara lama harus sudah ditinggalkan, tetapi cara baru belum terbentuk atau belum dirasakan nyaman, dan selalu timbul keraguan dalam bertindak.
Penulis amati, dalam melawan wabah covid 19 ini saja kita belum berhasil melewati fase pertama, indikasinya masyarakat belum disiplin mengikuti protokol kesehatan, dampaknya menjadi sulit memasuki fase-fase berikutnya, yakni fase transisi, apalagi fase permulaan baru (new normal).
Jika gagal melaksanakan perubahan di fase transisi tersebut, maka kita akan terpuruk jauh ke jurang kehancuran dan sangat sulit untuk kembali bangkit menuju fase permulaan baru (new normal), sebaliknya jika berhasil menjalani fase transisi tersebut, maka tidak mustahil akan terjadi lompatan yang sangat cepat menuju fase permulaan baru (new normal). Itulah sebabnya, penulis memandang pentingnya mempersiapkan dan mengelola fase transisi sebaik-baiknya sebelum menjalani fase normal baru, sebagaimana skenario dan persyaratan yang telah ditetapkan oleh WHO dan pemerintah. Tugas kita tinggal mentaati dan melaksanakannya saja.
Pertanyaannya adalah sudahkah kita mengelola fase transisi secara efektif sebelum menuju fase normal baru, seperti belumnya.
Jika wabah virus korona melonjak naik padahal kita telah melakukan usaha keras untuk mencegahnya, berarti ada yang salah dari apa yang kita lakukan selama ini, antara lain kesalahan dan kegagalan kita mengelola fase pengakhiran dan fase transisi.
Merubah Kebiasaan
Kebijakan “the new normal” berintikan pada perubahan perilaku atau kebiasaan. Penulis sadari bahwa merubah perilaku sangat dipengaruhi oleh perubahan pikiran dan sikap yang dalam prakteknya bukanlah pekerjaan yang mudah, selain akibat pikiran dan sikap seseorang telah tersanda oleh paradigma lama, juga disebabkan mudahnya pikiran, sikap dan perilaku yang telah berubah itu kambuh kembali. Menurut para ahli mudah kambuh atau kembali pada kebiasaan lama akibat ketidakstabilan emosi. Oleh karena itu perubahan memerlukan pengengangan aktif.
Charles Duhigg (2014) dalam bukunya “The Power of Habit” mengutip hasil penelitian seorang peneliti Duke University pada tahun 2006 menemukan bahwa “40% lebih tindakan yang dilakukan orang setiap hari bukanlah keputusan sungguhan melainkan kebiasaan”.
Alan Deutschman (2008) dalam bukunya “Change or Die” mengemukakan fakta-fakta berikut ini: (1) penelitian menyimpulkan bahwa peluang untuk berubah adalah sembilan berbanding satu (9:1), artinya dari sembilan peluang, satu peluang adalah milik Anda. Para ahli mengatakan bahwa sembilan dari sepuluh orang (90%) tidak mau berubah; (2) rahasia Toyota berhasil melakukan perubahan, tidak terletak pada teknologi yang digunakan, melainkan terletak pada sisi psikologinya. (3) banyak orang gagal merealisasikan tujuan dan keinginannya. Penyebabnya, bukan tidak mau berubah atau karena mereka tidak dapat berubah, melainkan lebih disebabkan mereka tidak memahami konsep perubahan itu sendiri atau tidak mempunyai perangkat yang benar untuk melakukan perubahan.
Pembiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Riset Duke University Amerika Serikat menyimpulkan bahwa perilaku manusia sebesar 40% dikendalikan oleh kebiasaannya.
Mahatma Ghandi, mengingatkan “Perhatikan pikiranmu, karena ia akan menjadi katakatamu. Perhatikan kata-katamu, karena ia akan menjadi perbuatanmu. Perhatikan perbuatanmu, karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu. Dan perhatikan karaktermu, karena ia akan menjadi taqdirmu”. Ibn Miskawaih (1998) dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.
Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids” mengatakan hal senada bahwa “otak membutuhkan pengulangan untuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”.
Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, bahwa otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulangulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif, pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) dalam bukunya berjudul “Adversity Quotient”.
Memahami dan menyadari pentingnya pembiasaan itu, Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2005) dalam bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”.
Para psikolog berkumpul di Fransisco University membahas satu tema “Mengapa Merubah Kebiasaan Buruk itu Sulit”. Pertemuan tersebut menghasilkan sebuah rekomendasi, memuat tiga unsur penting dalam pembentukan perilaku baik, yakni: (1) komitmen, janji dan niat; akan lebih baik jika komitmen tersebut dituliskan, dan setiap waktu diucapkan dan pemasangan pin (2) modifikasi lingkungan, Kazuo Murakami (2007) dalam bukunya “The Divine Message of DNA” menjelaskan bahwa kita memiliki mekanismee “on-of”, seperti saklar. Perilaku dan kebiasaan dapat berubah atau bermutasi karena ia berinteraksi dengan lingkungan dimana seseorang berada, dipicu oleh sikap mental, perasaan atau emosi dan pikiran positif, antusiasme, kebahagiaan, keceriaan dan keadaan psikologi lainnya; (3) monitoring dan evaluasi (monev) perubahan perilaku yang diinginkan/direncanakan. Akan lebih efektif, jika monev tersebut.
dilakukan secara formatif. Semakin cepat monev itu dilakukan, maka akan semakin baik perilaku seseorang. Secara jujur harus diakui, selama ini kita telah lalai melakukan monev perubahan perilaku sehingga sulit melakukan perubahan.
Skenario Pendidikan Menuju Normal Baru
Kapan kembali sekolah, dibuka kembali pada pertengahan Juli 2020 atau ditunda bulan Januari 2021 sangat dilematik sehingga menjadi perdebatan di masyarakat. Plt Dirjen PAUD, Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah Kemendikbud mengatakan, “Jika ditunda atau dimundurkan ke Januari 2021, ada beberapa konsekwensi dan sinkronisasi sehingga tahun ajaran tetap dilaksanakan pada pertengahan Juli 2020 dengan pola belajar berbasis daring atau luring bukan belajar tatap muka”.
Belajar dari Tiongkok (China) dan Korea Selatan, yang telah memutuskan untuk kembali pada tatanan hidup baru (new normal) dimana fasilitas publik dan sekolah kembali dibuka, namun tetap mengikuti protokol kesehatan yang sangat baik, misalnya sebelum masuk kelas siswa menggunakan masker terbaru, pakaian (kemeja, celana, sepatu dan tas disemprot), suhu badan diperiksa, siswa duduk satu meja satu orang dengan jarak lebih dari satu meter. Karena loncatan wabah yang terjadi di negara tersebut sangat signifikan, dalam hitungan tiga hari, sekolah tutup dan kembali belajar dari rumah.
Memperhatikan pandemik wabah covid 19 yang masih belum melandai ini, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) meminta kepada pemerintah agar tetap belajar dari rumah atau sekolah tetap ditutup.
Lebih dari 91% populasi siswa di dunia ini dipengaruhi oleh penutupan sekolah dampak pandemik COVID 19 (UNESCO). Survei KPAI mengungkapkan bahwa 139 (17,5%) dari 800 orang anak di Indonesia terpapar corona, 80% orang tua siswa menghendaki tetap belajar dari rumah.
Pada saat meteri presentasi ini ditulis, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI belum menetapkan waktu masuk kembali sekolah. Pembukaan kembali sekolah menunggu pertimbangan dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid 19. Prinsipnya kesehatan dan keselamatan siswa menjadi prioritas utama.
Ahmad Basarah selaku Wakil Ketua MPR RI menyrankan menunda normal baru di sekolah, dikutip dari Jawa Post.com, 1 Juni 2020.
Belum lama ini bapak Joko Widodo selaku Presiden RI menyatakan untuk tidak tergesagesa (grasa-grusu), melinkan penuh kehati-hatian menerapkan new normal di sektor pendidikan yang sangat berbeda dari sektor-sektor kehidupan lainnya, dikutip dari Fajar.com.id, 1 Juni 2020.
Sehubungan kondisi tersebut, saya mencoba mengemukakan tiga skenario pendidikan menuju normal baru, yakni sebagai berikut.
Skenario Pertama,
Pada skenario pertama ini, menjalankan komitmen melalui penguatan aktif untuk memberikan pemahaman dan mentaati semua protokol kesehatan, antara lain menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan menjalankan pola hidup bersih dan sehat serta hidup produktif dimanapun kita berada.
Skenario Kedua,
Pada skenario kedua ini; (1) memberikan pemahaman tentang protokol kesehatan melalui kegiatan sosialisasi, edukasi, dan simulasi secara efektif untuk memastikan protokol kesehatan tersebut dijalankan dengan baik. Untuk itu pengawasan harus dijalan secara baik dan sanksi harus diberikan kepada siapa saja yang melanggar peraturan yang berlaku; (2) jika pemerintah tetap menutup sekolah atau belajar dari rumah, sementara sistem pendidikan nasional tetap dapat memastikan pemenuhan hak peserta didik untuk mendapatkan layanan pendidikan berkualitas, melindungi warga satuan pendidikan dari dampak buruk COVID 19, mencegah penyebaran dan penularan COVID 19 di satuan pendidikan; dan memastikan pemenuhan dukungan psikososial bagi pendidik, peserta didik, dan orang tua, maka solusinya adalah melalui Belajar Dari Rumah (BDR) melalui Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ), yakni pembelajaran jarak jauh dalam jaringan/online (daring) dan pembelajaran jarak jauh luar jarigan (luring), seperti: menggunakan televisi, radio, modul belajar mandiri, dan lembar kerja lebih diefektifkan. Belajar Dari Rumah (BDR) dilaksanakan memberikan pengalaman bermakna bagi peserta didik tanpa terbebani penuntasan kurikulum dan berfokus pada pendidikan kecakapan hidup, bervariasi antar daerah, satuan pendidikan dan peserta didik sesuai minat dan kondisi masing-masing, hasil belajar diberi umpan balik yang bersifat kualitatif dan berguna tanpa diharuskan memberi skor atau nilai kuantitatif serta mengedepankan pola interaksi dan komunikasi yang positif antara guru dan orang tua; (3) perlawanan terhadap wabah covid 19 memerlukan kesadaran kolektif semua pihak (stakeholder) pendidikan, yakni keluarga, sekolah atau pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu, tiga komponen masyarakat tersebut harus berkolaborasi mempersiapkan pendidikan menuju normal baru. Menurut penulis skenario dan persiapan untuk kembali sudah dapat disiapkan mulai dari sekarang secara bertahap, meliputi sosialisasi, edukasi dan desiminasi. Banyak infrastruktur sekolah yang harus disesuaikan seperti jarak meja, pengadaan tempat cuci tangan dilengkapi sabun dan air mengalir, mengatur jam belajar, dan review kurikulum, tentu saja dilakukan secara bertahap berdasarkan kondisi daerah masing-masing dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi, sistem kesehatan dan surveilans yang tidak sama di setiap daerah; (4) demi mengefektifkan belajar dari rumah perlu diberikan pembimbingan atau pendampingan kepada orang tua mengenai home schooling.
Terutama di fase transisi (scenario kedua), kepala sekolah berperan, antara lain: (1) menetapkan model pengelolaan satuan pendidikan darurat selama BDR dan menentukan sistem pembelajaran; (2) membuat rencana keberlanjutan pembelajaran; (3) melakukan pembinaan dan pemantauan kepada guru; (4) memastikan ketersediaan sarana prasarana yang dimiliki guru daam memfasilitasi pembeljaran jarak jauh; (5) membuat program pengasuhan untuk mendukung orang tua /wali dalam mendampingi anak BDR; (6) membentuk Tim Siaga Darurat untuk penanganan COVID 19 di satuan pendidikan; (7) berkoordinasi dan memberikan laporan secara berkala kepada Dinas Pendidikan dan/atau UPT Pendidikan di daerah.
Pendidik atau guru berperan memfasilitasi pembelajaran jarak jauh secara daring, luring, maupun kombinasi keduanya sesuai kondisi dan ketersediaan sarana pembelajaran. Bentuk peran guru, antara lain: (1) APA (isi atau konten); berkordinasi dengan kepala sekolah dan mereview kurikulum; (2) SIAPA (profil pembelajaran, status dan kebutuhan saat ini, dukungan kelurga; dan (3) BAGAIMANA: penlaian diri guru, dukungan guru, sumber daya, menyusun pembelajaran, dukungan dan umpan balik kepada siswa dan penilaian, Orang tua berperan, antara lain: (1) memastikan mekanisme komunikasi dengan guru dan tenaga pendidik; (2) bersama guru merencanakan pembelajaran inkulusif (al. jadwal dan penugasan) sesuai kondiri orang tua dan peserta didik; (3) berkoordinasi dengan guru mengenai penugasan belajar; (4) bersama guru mengontrol pembelajaran siswa.
Skenario Ketiga,
Pada skenario ketiga ini; (1) meskipun ada pihak mengatakan bahwa sekolah-sekolah yang berada di zona hijau dapat saja membuka sekolah, namun harus diperhitungkan secermat-cermatnya dan tetap selalu berdisiplin menjalankan protokol kesehatan, antara lain: menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, dan tetap menjaga pola hidup sehat dan bersih (bersih lingkungan dan berolah raga atau senam pagi sebelum masuk kelas) secara lebih efektif sehingga efektivitas pelaksanaan protokol kesehatan di lingkungan pendidikan dapat dipastikan karena menjaga keselamatan dan kesehatan siswa dari wabah COVID 19 adalah yang pertama dan utama. Lagi pula harus diakui dan disadari bahwa kesulitan pencegahan dan keluar dari wabah corona ini karena kurang disiplinnya masyarakat. Oleh karena pandemik ini harus memberikan pembelajaran kepada kita akan pentingnya pembentukan disiplin yang harus ditanamkan dari sejak dini; (2) menyediakan sarana pembelajaran yang menunjang efektivitas blended learning. Namun tidak cukup, kurang efektifnya belajar siswa, tidak semata-mata karena kurangnya infrastruktur dan jaringan, melainkan disebabkan oleh kurang kompetensi guru, terutama dalam pembelajaran daring, dan lebih parah lagi adalah budaya belajar peserta didik yang sangat lemah, faktanya kontrol belajar siswa ada pada orang lain. Hal ini terjadi sebagai dampak dari pengaruh strategi belajar selama ini yang bersifat behavioristik, ke depan mestinya mulai diusahakan untuk menerapkan pembelajaran kontruktifistik. (3) selalu mengusahakan inovasi pembelajaran yang inovatif; dan (4) meningkatkan partisipasi orang tua dan masyarakat dalam pembelajaran efektif.
Di semua fase, semestinya kepala sekolah, guru dan orang tua harus saling menguatkan untuk berkolaborasi mewujudkan pendidikan yang lebih baik di era normal baru sesuai tugas dan fungsi masing-masing (Nara Sumber, Dosen FKIP UNTAN)