Meraih Sukses Atas Ridha Ibu
KETIKA masih duduk di Madrasah Ibtidaiyah (sederajat Sekolah Dasar) Swasta di suatu desa. Seorang ibu guru bertanya kepada para muridnya mengenai cita-cita kami setelah dewasa nanti. Satu persatu murid menyebutkan cita-citanya. Ada yang ingin menjadi seorang dokter, pilot, polisi, tentara, PNS, artis, guru dan seterusnya, hanya penulis seorang diri yang tidak mengerti atau bingung harus menyebutkan apa cita-cita jika sudah dewasa nanti. Berulang-ulang kali ibu guru meminta penulis untuk menyebutkan cita-cita yang diinginkan, akhirnya penulis katakan, saya “Ingin berbakti kepada kedua orang tua, terutama berbakti kepada ibunda tercinta”. Mendengar jawaban penulis, serentak siswa seisi kelas mentertawakan penulis. Ibu guru mengingatkan agar penulis serius. Dalam pikiran penulis, “Apa yang salah?”.
Jujur penulis katakan, bahwa pada waktu itu, penulis seorang Muslim belum pernah mendengar sabda Rasulullah Saw, “Suatu hari ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah Saw seraya bertanya, ‘Wahai Rasulullah siapa orang yang paling berhak mendapatkan perlakuan baik dariku?’, Rasulullah Saw menjawab, “Ibumu”. Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah, tanyanya lagi, Beliau menjawab “Ibumu”, Kemudian siapa lagi, wahai Rasulullah, tanyanya lagi, Beliau menjawab “Ibumu”. Kemudian siapa lagi, Wahai Rasulullah, lanjut dia, Beliau menjawab “Ayahmu” (HR. Bukhari dan Muslim).
Setelah tamat Madrasah Ibtidaiyah di tahun 1971, mama (ibu kandung) dan seorang kakak mengizinkan penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah (sederajat Sekolah Menengah Pertama) Gerpemi Tebas, sementara ayah maunya penulis yang baru saja tamat SD segera bekerja mencari nafkah bagi keluarga. Mama dan kakak tetap bersikukuh pada pendiriannya agar penulis melanjutkan pendidikan di jenjang Madrasah Tsanawiyah. Singkat cerita, setelah lulus MTs Garpemi Tebas lulus di tahun 1974, penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Pendidikan Guru Negeri Singkawang (lulus di tahun 977).
Pada saat duduk di Sekolah Pendidikan Guru Negeri (SPGN) Singkawang, penulis tidak pernah sekalipun berpikir untuk melanjutkan pendidikan (kuliah). Nama Universitas Tanjungpura terlalu prestisius (sangat hebat) terdengar di telinga penulis, terlebih lagi penulis seorang anak desa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dimana untuk makan sehari-hari saja sangat sulit dan terkadang tidak makan, tidaklah heran jika sejak kecil telah kehilangan harapan untuk melanjutkan kuliah, menjadi seorang sarjana hanya ada dalam mimpi.
Dalam pikiran penulis, setelah lulus SPGN Singkawang, penulis berharap: secepatnya diangkat menjadi guru Sekolah Dasar di sebuah desa nun jauh di sana, setelah itu menikah dengan gadis desa, jika ada uang ingin juga rasanya memiliki kebun jeruk meskipun hanya sedikit sebagai pekerjaan tambahan dan puncaknya ingin menunaikan ibadah haji (titik, hanya itu saja yang ada dalam pikiran penulis).
Setelah lulus SPGN Singkawang, penulis diangkat menjadi guru Sekolah Dasar Negeri di Kota Pontianak (1978), setahun berikutnya penulis melanjutkan kuliah program extention (sore) di Universitas Tanjungpura (lulus 1984), kemudian pada tahun 1986 pindah tempat pengabdian, yakni menjadi dosen FKIP Universitas Tanjungpura. Tahun 1990 melanjutkan studi magister dan doktor di Universitas Negeri Malang (lulus 2000).
Penulis tidak sendirian, tiga orang anak penulis melanjutkan studi tidak sesuai dengan cita-cita yang telah dipikirkannya dari sejak kecil.
Tidak pernah terbayangkan, Lukmanulhakim, anak sulung penulis menjadi seorang dosen di Universitas Tanjungpura. Anak kedua Rahmi Dianty, sebelum menyelesaikan program double degree (magister sekaligus spesialis) di Faklultas Kedokteran Universitas Airlangga langsung diterima pada program doktor riset (PhD) di Osaka University beasiswa Tanaguchy Jepang, dan anak ketika Rahmad Ramadhani adalah mahasiswa Pendidikan Profesi Dokter pada Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dan beberapa anak asuh lainnya pada umumnya telah menjadi sarjana, tersisa dua orang yang masih tinggal bersama penulis dan sedang kuliah di Universitas Tanjungpura.
Alhamdulillah, semua perjalanan hidup kami dari sejak awal dengan segala keterbatasannya berjalan lancar. Nikmat yang telah diberikan oleh Allah SWT sangat banyak tidak mungkin penulis tuliskan semua di kolom opini yang sangat terbatas ini, Nikmat-nikmat dariNya jauh melebihi dari apa yang selama ini dipikirkan dan diusahakan. Hal ini menambah keyakinan kami, bahwa ada kekuatan Allah SWT mengantarkan kesuksesan kita.
Alhamdulillah, Allah SWT maha tahu memilihkan apa yang terbaik bagi keluarga kami. Ia berikan bimbingan dan petunjukNya kepada keluarga kami untuk memperoleh pendidikan berkualitas sebagai balasan atas bakti kami kepada kedua orang tua terutama bakti kepada ibu dari sejak kecil hingga wafatnya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik”. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah “Wahai Tuhanku, Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil”, dikuti dari QS Al-Isra’ : 23-24.
Di ayat lain Allah SWT berfirman, “Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya, ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu“, QS Lukman (31): 14 dan di ayat lain QS Al Ahqaf (46): 15.
Dalam kenyataannya, mengamalkan ayat-ayat Allah SWT tersebut di atas bukanlah suatu pekerjaan yang mudah dan dapat dilakukan oleh semua orang, melainkan hanya dapat dilakukan oleh sedikit orang, yakni mereka yang mendapat petunjuk dan khidayahNya dengan penuh kesabaran dan keikhlasan semata-mata karena “Mahabatullah”.
Faktanya, dalam satu keluarga terdiri kedua orang tuanya dan beberapa orang anaknya, pada umumnya lebih dari dua orang anak. Mereka dilahirkan, dipelihara, dididik dengan baik dan didoakan keselamatannya setiap hari oleh kedua orang tuanya, namun sayangnya setelah mereka dewasa, orang tuanya telah berusia lanjut dan uzur tidak semua anaknya menyantuni dan mendoakan keselamatannya. Terkadang, anak yang selalu dibanggakan oleh orang tua dan keluarganya karena berbagai prestasi yang telah diraihnya, setelah ia dewasa dan orang tuanya uzur belum tentu anak yang dibangga-banggakan tersebut berbakti kepada kedua orang tuanya, mereka lupa bahwa ayah dan ibunya yang sejati hanya satu.
Allah SWT tidak rela kepada umatnya yang berbakti kepada kedua orang tuanya, terutama kepada ibunya menderita hidupnya, baik di dunia maupun di akhirat kelak, dan Allah SWT mensegerakan nikmatNya dari berbagai arah, termasuk arah yang tidak diduga sebelumnya. Sebaliknya, “Tidak ada satu dosa pun yang lebih pantas untuk Allah segerakan azabnya di dunia bagi pelakunya, walaupun (ada azab) baginya yang ditunda hingga akhirat kelak, dari pada dosa kedurhakaan kepada kedua orang tua dan memutus tali silaturrahmi”, (HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, “Ada dua pintu dosa yang azabnya disegerakan ketika dia di dunia, yakni kezaliman dan durhaka kepada kedua orang tua” (HR. Hakim).
Selain itu, dari sejak kecil orang tua selalu mengingatkan kami anak-anaknya bahwa, “Ridha Allah di atas ridha ibunya dan murka Allah di atas murka ibunya”. Bapak BJ. Habibie presiden RI ke-3 di masa hidupnya dalam banyak kesempatan selalu mengingatkan bahwa semua orang sukses di muka bumi ini sangat ditentukan oleh peran dua orang perempuan, yakni ibu dan istrinya
Coba perhatikan, “ketika engkau dilahirkan, engkau menangis. Ibumu yang baru saja bertarung antara hidup dan mati saat melahirkanmu justru tersenyum. Berbaktilah kepadanya dan berilah makna dari kehidupanmu agar ketika engkau pergi meninggalkan dunia ini kau tersenyum, sementara orang tuamu, saudara-saudaramu dan pelayat menangis atas kepergianmu”.
Menutup opini ini, di moment hari ibu 22 Desember 2021, penulis mengajak kita semua bermuhasabah atau introspeksi. Sudah sejauhmana pengabdian kita kepada ibu yang mengandung, melahirkan, merawat dan mengasuh kita dengan penuh rasa kasih sayang. Silakan kau pergi keliling dunia, tidak akan engkau temukan seorang ibu yang memiliki kasih sayang sejati kepadamu, kecuali kau hanya dapatkan kasih sayang sejati itu dari ibu kandungmu sendiri
oleh Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]



