Mereka Bukan Pencuri
PENCURI adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengambil milik orang lain tanpa seizinnya.
Diasumsikan bahwa perilaku tidak mencuri berpengaruh atau berkorelasi positif terhadap mutu dan kualitas seseorang atau keadaban dan martabat suatu bangsa. Asumsi tersebut dibuktikan oleh beberapa negara/bangsa berkemajuan berikut ini.
Ratih D. Adiputri (2019) dalam bukunya “Sistem Pendidikan Finlandia” mencatat dan menceritakan pengalamannya selama tinggal bersama dua puterinya (Nadya dan Reza) di Jyvaskyla Finlandia. Diantara catatan luar biasa yang sangat mengesankan adalah efektivitas pendidikan karakter dimana dari sejak dini sekolah sudah mendidik atau memberi kepercayaan kepada anak-anak untuk mengambil hanya yang menjadi haknya.
Dengan membangun rasa percaya kepada peserta didik membuat mereka terbiasa untuk tidak mengambil barang yang bukan miliknya.
Buku tulis dan beberapa keperluan belajar siswa disediakan secara gratis tanpa ada pengawasan dan catatan. Siswa hanya mengambil alat tulis yang diperlukan dan barang yang akan digunakannya sendiri, tidak ada keinginan untuk mengambil lebih.
Kepercayaan yang telah dibangun dari sejak kecil tersebut menjadi budaya masyarakat Finlandia, yakni bangsa bukan pencuri.
Treatman tersebut pernah diuji cobakan di beberapa sekolah di negeri ini melalui program “Kantin Kejujuran”. Namun, program kantin kejujuran tersebut tidak membuahkan hasil. Tujuan program melahirkan kejujuran bagi peserta didik, yang terjadi justru sebaliknya peserta didik masih berani berperilaku tidak jujur, diantaranya berani mencuri.
Kasus lain bersumber dari bapak Bonar Pasaribu, seorang Duta Besar RI di Finlandia. Singkat cerita, pada saat bertugas di Finlandia, beliau pernah kehilangan handpone yang sangat diperlukan dalam kesehariannya, kejadian buruk ini sangat mengganggu dalam melaksanakan tugasnya.
Lebih dari seminggu ia berusaha mencari handpone tersebut, namun keberadaan handpone tidak juga ditemukan.
Pada suatu hari, istri beliau mengingatkan seraya bertanya kepadanya, “Bapak, bukankah seminggu yang lalu kita berkunjung ke sebuah supermarket dan pada waktu itu bapak izin ke toilet (WC) mau buang air kecil. Apakah bapak sudah mencari handpone di sana?. Dijawab, “Belum Ibu”.
Bapak Bonar dan istrinya bergegas menuju supermarket tersebut. Betapa terkejutnya beliau dan istrinya ketika melihat dan menemukan handpone yang dicari berhari-hari masih tersimpan rapi di suatu tempat yang disediakan. Setahu beliau ketika berada di depan toilet terdapat puluhan pengunjung supermarket yang juga antri ke toilet yang sama untuk buang air kecil, dalam seminggu boleh jadi ribuan pengunjung hilir-mudik di sekitar WC tersebut yang tentu saja melihat handpone milik bapak Bonar, namun tidak seorangpun dari mereka berani menyentuh handpone yang bukan miliknya itu. Kejadian itu cukup menjadi bukti bahwa mereka bukan pencuri.
Beberapa tahun lalu, terjadi tsunami Fukusima di Jepang. Bencana alam yang maha dahsat tersebut menyita perhatian, empati dan solideritas dunia: bantuan sandang, pangan dan papan berdatangan dan berlimpah dari seluruh penjuru dunia. Tanpa harus dijaga secara khusus bantuan tersebut tidak satupun yang hilang dicuri orang.
Hal ini sangat berbeda ketika bantuan bencana alam terjadi di negeri ini, selalu ada yang mengambil kesempatan atau keuntungan di saat saudara-saudaranya mengalami penderitaan, anehnya pencuri bantuan sosial tersebut bukan hanya dilakukan oleh mereka yang sedang kelaparan, bahkan dilakukan oleh mereka yang memiliki uang banyak, ada diantara mereka adalah pejabat negara yang mentalnya sangat busuk, belum lagi mereka yang ibarat “Maling Teriak Maling” mungkin lebih banyak lagi.
Selama tinggal di Jepang, penulis sempat mengunjungi beberapa prefektur (provinsi), sempat berkomunikasi dengan penduduk, baik yang tinggal di kota maupun di desa. Penulis sempat menanyakan, “Kenapa buah sankis dan buah mangga yang sudah masak/siap untuk dimakan dibiarkan berjatuhan, ikan segar yang berenang bebas di parit-parit tidak ada yang mengambilnya sekalipun tidak ada larangan mengambil buah dan ikan segar tersebut untuk dimakan?”.
Mereka menjawab, “buah dan ikan tersebut bukan miliknya, mereka tidak merasa menanam dan memeliharanya”. Penulis konfirmasi atau tanyakan langsung kepada Rahmi Dianty (puteri penulis yang saat ini studi PhD di Osaka University dan tinggal di sana) mengenai sikap masyarakat Jepang tersebut. Puteri penulis membenarkan hal yang penulis konfirmasi tersebut, “Selama ia tinggal di Osaka belum pernah mendengar ada pencuri”.
Penulis pernah mendengar kisah berikut ini. Diawal kemerdekaannya, pimpinan negara Singapura mengundang tokoh masyarakat dari berbagai golongan atau etnisitas. Beliau menyampaikan pidato perdananya seraya memohon kepada rakyatnya untuk membangun toilet (WC) di tempat-tempat umum. Setelah WC tersebut dibangun, dimintakan agar pada WC tersebut diselipkan sejumlah uang senilai 10 dolar, kemudian setelah tiga hari uang yang disimpan di WC tersebut diperiksa, apakah masih ada atau hilang.
Hasil pemeriksaan, menunjukkan ada uang yang hilang dan sebagian besar masih utuh (tidak hilang). Uang yang hilang diganti kembali, kemudian tiga hari berikutnya diperiksa lagi, hasilnya utuh (tidak ada lagi yang hilang).
Pimpinan negara kembali mengundang tokoh masyarakat seraya menyampaikan ucapan terima kasih kepada masyarakat Singapura, yakni masyarakat Singapura bukan pencuri.
Berdasarkan percobaan sederhana tersebut kepala negara berkeyakinan pada saatnya nanti Singapura akan menjadi negara maju di Asia, bahkan di dunia karena rakyatnya bukan pencuri. Tanda-tanda kemajuan negara singa tersebut mulai tampak sekarang ini.
Bangaimana dengan bangsa kita, Indonesia?.
Dari kecil kita dididik oleh orang tua, guru dan ustaz untuk tidak boleh mencuri dan tidak boleh berbohong. Namun kenyataannya pencuri bergentayangan di sekitar kita di negeri ini dalam berbagai sosoknya dari yang tampil kumuh hingga yang tampil parlente/berdasi, mereka menjadi pencuri melalui berbagai modul operandinya dari cara yang nyata hingga cara yang tersembunyi tanpa merasa malu dan merasa berdosa.
Boleh jadi, banyaknya pencuri menjadi faktor yang menyebabkan sulitnya bangsa ini mengalami kemajuan, tetap saja dalam status “Negara Sedang Berkembang”. Fenomena ini cukup menjadi bukti bahwa ada sesuatu yang salah dari apa yang kita pelajari dan dari apa yang kita ajarkan selama ini. Selaku orang yang mengaku beragama, semestinya kita malu melihat kondisi bangsa yang dihuni oleh banyak pencuri.
oleh Dr. Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]