Pelajar Berdemo: Apa yang Salah?
AKHIR-akhir ini, kita dengar dan lihat, baik secara langsung maupun melalui media sosial (cetak dan/atau elektronik) banyak pelajar ikut berdemo bersama mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya.
Berdemo menyampaikan pendapat di depan umum adalah hak semua orang yang telah diatur dalam perundang-undangan dan peraturan lainnya. Selama mengikuti perundang-undangan, peraturan dan ketentuan yang berlaku tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh para demonstran, termasuk para pelajar yang mengikutinya.
Pelajar adalah peserta didik yang sedang mengikuti pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah memiliki hak yang sama untuk menyampaikan pendapatnya.
Ada diantara kita bersikap pro dan kontra terhadap pelajar berdemo dengan alasan yang berbeda. Dari pada kita berdebat yang tidak ada akhirnya, lebih baik kita menjawab beberapa pertanyaan berikut ini.
Pertanyaan pertama, “mengapa pelajar berdemo?”. Usia pelajar adalah masa adolesensia manusia, dimana manusia pada umumnya di usia tersebut mengalami krisis identitas dan kebingungan identitas dalam kadar yang berbeda, demikian Erik H. Erikson (1989) dalam bukunya “Identitas dan Siklus Hidup Manusia”. Mereka yang mengalami krisis kesadaran akan identitasnya, terlihat sulit menyadari siapakah dan apakah mereka ketika itu dan ingin menjadi siapakah dan apakah mereka di masa depannya. Jika di usia adolesensia tersebut mereka tidak memiliki sesuatu (brand imge) yang dapat dijadikan sebuah identitas yang menjadi kebanggaannya, maka tidak jarang mereka menciptakan identitas baru agar mendapat pengakuan atas “Ego” nya, misalnya ketika prestasi akademiknya di sekolah sangat jelek, kemudian mereka menciptakan identitas baru menyebut dirinya “Anak Fank” dan seterusnya.
Boleh jadi, para pelajar yang berdemo hanya ingin mencari identitas bahwa mereka ingin disebut generasi kritis layaknya abang-abangnya para mahasiswa. Mereka merasa bangga, apabila banyak orang menyaksikan dan meliput aktivitas demonstrasi yang dilakukannya, sebaliknya mereka tidak berdemo di tempat sepi karena tidak dilihat banyak orang.
Selain alasan tersebut di atas, ditemukan bahwa para pelajar berdemo itu adalah sebagian dari masyarakat kita yang sedang kelaparan, mereka berdemo dibayar dengan harga yang sangat murah, yakni sebesar Rp. 50.000,- (lima puluh ribu) rupiah untuk membeli sepiring nasi demi mempertahankan hidupnya. Selain merasa nyaman, keinginan untuk mendapat pengakuan melalui berdemo dirasakan lebih aman untuk melakukan apa saja yang diinginkannya karena sanksi hukum atas kesalahan kolektif dalam berdemo menjadi tanggung jawab koordinator lapangan atau provoktor
Pertanyaan berikutnya, mengapa mereka ditangkap, bahkan dihukum?, apa salah mereka?. Dari investigasi yang dilakukan terhadap pelajar berdemo ditemukan bukti mereka melanggar perundang-undangan, peraturan dan ketentuan yang berlaku, antara lain; membawa senjata tajam, tindakannya merugikan dan membahayakan orang lain. Menurut penulis, bukti-bukti tersebut harus jelas dan terukur, agar jelas siapa yang salah dan siapa yang benar. Jika tidak jelas dan tidak terukur, dikhawatirkan yang salah menangkap yang benar. Orang bijak mengatakan, “Melepaskan 1000 (seribu) narapidana yang ada di dalam penjara adalah lebih baik dari pada menangkap satu orang yang tidak bersalah”.
Siapapun diantara kita, tidak demokratis dan lebih zholim, apabila memusuhi dan menangkap siapa saja yang melakukan kritik terhadap kebijakan yang diputuskannya. Sejarah membuktikan, pempimpin sejati dan orang yang masih waras jiwanya sangat senang dikritik dan meyakini bahwa berbeda pendapat adalah rakhmat, demikian sebaliknya, penguasa dan siapa saja yang tidak mau dikritik, akan lebih baik dilakukan ceks up kesehatan jiwanya. Namun tidak semua pemimpin yang mau dikritik itu, senang jika dihina. Jadi kritik itu sangat diperlukan bagi seorang pemimpin, namun sebaiknya jangan menghina karena hampir semua orang di dunia ini tidak senang dihina.
John Stuart Mill (1996) dalam bukunya “On Liberty” menyatakan, “Aku berbeda pendapat dengan Anda, dan Aku akan membela Anda sampai Anda wafat (mati) karena kita berbeda pendapat”.
Sekalipun menyampaikan pendapat dijamin undang-undang, tidak berarti semua orang seenak-enaknya menyampaikan pendapat di depan umum. Jujur kita akui bahwa, masih banyak diantara kita belum cerdas mengemukakan pendapat, sedikit berbeda ketika menyaksikan demonstrasi di Tokyo Jepang.
Penulis pernah menyaksikan demonstrasi meminta pemerintah menurunkan harga bensin di Tokyo Jepang. Para demonstran berjalan kaki dengan tertib sambil melambai-lambaikan bendera negaranya dan mendengarkan musik yang mengiringi perjalanan mereka. Kesan penulis menyaksikan demonstrasi di negara matahari terbit sebagaimana menyaksikan arakan karnaval di tempat kita.
Aristoteles mengajarkan, “Sampaikan sebuah kebenaran yang diperlukan untuk kebaikan dengan penuh rasa tanggung jawab”, maksudnya: pertama-tama yang harus dipastikan bahwa pesan yang akan disampaikan adalah sebuah kebenaran, (apakah para demonstran sudah memahami isi UU yang mereka demo?), setelah itu harus dipastikan bahwa pesan kebenaran itu sangat diperlukan untuk disampaikan, berikutnya dipastikan bahwa pesan yang diperlukan itu menjadi kebaikan. Setelah pesan disampaikan, maka pesan tersebut telah menjadi milik orang lain, boleh jadi mereka senang atau tidak senang terhadap pesan yang baru disampaikan, maka seorang komunikator harus bertanggung jawab terhadap pesan yang disampaikannya.
Jika ditemukan masih banyak anggota masyarakat termasuk pelajar berdemo menyampaikan kritik yang kurang baik, cukup menjadi bukti bahwa proses pendidikan, baik pendidikan informal oleh keluarga, pendidikan formal di sekolah/perguruan tinggi dan pendidikan informal oleh masyarakat belum efektif.
Sebuah yayasan pendidikan di Jawa Barat melakukan kegiatan mengajarkan siswanya menyampaikan kritik atau pendapat. Kegiatan tersebut bernama “Pengadilan Guru”, diselenggarakan satu kali setiap bulannya, secara bergiliran mulai kelas I, II, dan III, tentu saja di sebuah ruangan yang cukup luas.
Skenario kegiatan, di kelas I, guru yang bertugas mengajar di kelas tersebut duduk di depan kelas/ruangan, murid duduk rapi berhadap-hadapan dengan gurunya. Dipimpin oleh kepala sekolah, murid diberi kesempatan menyampaikan kritik kepada gurunya. Tanpa beban murid melakukan kritik keras, pedas untuk didengar terutama oleh para dewan guru namun tidak boleh marah, apalagi dendam kepada murid yang melakukan kritik. Setelah mendengar kritik dari siswanya, guru diminta memberi tanggapan atas kritikan tersebut.
Di kelas II, kegiatan yang sama dilakukaan, namun berbeda ketika siswa menyampaikan kritik kepada gurunya, yang semulanya di kelas I semua murid diberi kesempatan menyampaikan kritis bebasnya. Di kelas II, siswa menyampaikan kritik kepada guru melalui untaian puisi yang dibacakan muridnya. Sekalipun terdengar keras, banyak guru tersenyum dan terharu mendengar kritik dari muridnya. Di kelas II, penyampaian pendapat/kritik siswa kepada gurunya jauh lebih santun.
Di kelas III, skenario hampir sama, namun cara siswa menyampaikan kritik kepada gurunya berbeda. Ketika di kelas I secara lansung, di kelas II melalui puisi, di kelas III siswa menyampaikan kritik kepada guru melalui sebuat teater/drama. Baik kepala sekolah, seluruh guru dan siswnya menyaksikan drama tersebut. Tanpa disadari banyak guru yang dikritik oleh muridnya terharu dan mengakui kesalahan, kekurangannya dan ingin memperbaiki proses pendidikan, pengajaran dan pergaulan dengan muridnya. Dibanding kelas I, dan kelas II, teater/drama “Pengadilan Guru” di kelas III jauh lebih efektif.
Penulis yakin, banyak sekolah kita tidak peduli terhadap keterampilan berkomunikasi siswanya, diantaranya dalam menyampaikan pendapat di depan publik, dampaknya, kita saksikan hari ini banyak pelajar baik yang berdemo maupun tidak kurang cerdas menyampaikan kritik, bahkan tidak jarang ada diantaranya terprovokasi melakukan kekerasan.
Penulis Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]



