Pendidikan Menyenangkan
ORANG tua menceritakan putera-putrinya saat di jenjang pendidikan dasar (SD, SMP) menunjukkan prestasi akademik yang sangat baik, kemudian saat putera-puterinya tersebut duduk di jenjang sekolah menengah (SMA dan SMK) prestasi akademik mereka menurun drastis, demikian sebaliknya.
Kasus lain, seorang sarjana matematika bercerita kepada penulis saat ia duduk di sekolah menengah, pelajaran matematika tergolong mata pelajaran yang tidak disenanginya. Kemudian ketika ia berkesempatan melanjutkan kuliah pada program studi Matematika di FKIP Universitas Tanjungpura ia sangat senang mengikuti mata kuliah Matematika. Mahasiswa tersebut, menyebut nama seorang dosen matematika yang menginspirasi perubahan perilakunya.
Adam Khoo, ketika nilai ujian kelulusan Sekolah Dasar diumumkan, nilainya buruk sekali (peringkat paling bawah) sehingga tidak diterima di enam Sekolah Menengah Pertama pilihan orang tua. Sebagai gantinya, ia dikirim ke Ping Yi Secondary School, Sekolah Menengah Pertama Negeri yang relatif baru dimana sekolah tersebut tidak dikenal oleh banyak orang termasuk oleh masyarakat sekitarnya. Orang tuanya panik dan mengharuskannya untuk mengikuti banyak privat/les, tetapi semua itu tidak membantu. Adam Khoo diantar ke Hotel Ladyhill dan dipasrahkan dibawah pengawasan Master Trainer Ernest Wong dan berhasil mengubah keyakinan, keinginan dan kesenangannya.
Dalam waktu singkat ia berhasil mencapai peringkat 10 (sepuluh) besar di jenjang SMP, kemudian 5 (lima) besar di Victoria Junior College (SMU top di Singapura), dan rangking 1 (satu) dari National University of Singapura (universitas top di Singapura), diberi kehormatan untuk masuk di Talent Development Programe (TDP) bergengsi, ia juga termasuk dalam The Dean’s List setiap tahun berturut-turut atas prestasi akademiknya yang luar biasa. Di usia 26 tahun, Adam Khoo tercatat sebagai seorang wirausahawan sukses di negerinya, penulis terlaris, dan trainer performa puncak”, dikutip dari Adam Khoo (2008) dalam bukunya “Buku Pintar Anak Jenius”.
Fenomena tersebut di atas, secara teoritis dapat dijelaskan berikut ini. Rose dan Nicholl (2006) dalam bukunya “Accelerated Learning for The 21 st Century” menyatakan bahwa “emosi berupa perasaan senang menjadi kunci utama dalam mencapaian percepatan belajar (accelerated learning)”. John Kotter (2010) dalam bukunya “The Heart of Change” mengatakan hal yang sama bahwa hakikat sebuah perubahan adalah perasaan.
Asumsi di atas telah teruji melalui banyak penelitian, diantaranya: Sandy MacGregor (2000) dalam bukunya ”Piece of Mind” menyatakan bahwa “anak-anak yang berusia 0-5 tahun ketika datang ke dunia ini tanpa sesuatu tersimpan di otaknya, namun mereka mempelajari lebih banyak fakta dan data dari pada mahasiswa yang belajar di perguruan tinggi. Ini terjadi karena anak-anak usia dini menikmatinya dan sangat senang atau tidak stres menjalaninya”.
Penelitian lain menyimpulkan bahwa “sebesar 82% anak-anak yang masuk sekolah pada usia 5 atau 6 tahun memiliki citra diri positif tentang kemampuan belajar mereka sendiri. Tetapi angka tinggi tersebut menurun drastis menjadi hanya 18% waktu mereka bersusia 16 tahun. Konsekwensinya, 4 dari 5 remaja dan orang dewasa memulai pengalaman belajarnya yang baru dengan perasaan tidak menyenangkan”.
Uraian di atas menjelaskan bahwa kemunduran prestasi akademis peserta didik berawal dari rasa tidak senang mengikuti proses pendidikan dan/atau pembelajaran, demikian sebaliknya. Oleh karena itu “Pendidikan dan/atau Pembelajaran Menyenangkan” adalah suatu keharusan bagi siapa saja yang berharap mutu pendidikanya meningkat atau berkemajuan.
Riset membuktikan banyak faktor yang mempengaruhi proses pendidikan dan/atau pembelajaran menyenangkan. Alasan keterbatasan ruang opini, penulis jelaskan sebagian diantaranya: (1) membangun ekosistem pendidikan dan pembelajaran yang sinergis; (2) menyelenggarakan pendidikan dan/atau pembelajaran efektif; (3) membangun sekolah dalam taman; dan (4) penelitian dan pengembangan secara berkelanjutan.
Membangun ekosistem pendidikan dan pembelajaran yang sisnergis sesama tri pusat pendidikan, terdiri dari keluarga (informal), sekolah (formal) dan masyarakat (nonformal) sangat diperlukan bagi pendidikan menyenangkan.
Orang tua peserta didik merupakan kekuatan utama dalam menciptakan suasana pendidikan dan pembelajaran yang menyenangkan. Kekeliruan selama ini banyak orang tua lepas tanggung jawab pendidikan dan pembelajaran ketika anak-anak mereka masuk sekolah padahal 2/3 kehidupan aktif seorang anak ada di rumahnya, sementara di sekolah hanya 1/3 nya.
Mengingat dan memperhatikan pentingnya pendidikan dan pembelajaran menyenangkan tersebut, Harold W. Stevenson dan James W. Strigler (1992) dalam sebuah buku “The Learning Gap” menjelaskan temuan penelitiannya dimana sikap orang tua Asia seperti Jepang, China, Korea Selatan, dan Singapura pada umumnya selalu bertanya tentang hal yang sama kepada anak-anaknya jika mereka pulang sekolah. Pertanyaannya adalah “Apakah anak-anaknya merasa senang belajar di sekolah hari ini”. Orang tua mereka sangat senang jika mendengar jawaban anaknya bahwa mereka senang mengikuti pembelajaran, namun jika jawaban anaknya sebaliknya “tidak senang”, maka orang tua segera (tidak menunda-nunda) mencari jawaban atas ketidaksenangan anaknya sekolah pada hari itu. Berbeda dengan orang tua Erofah pada umumnya dimana mereka selalu menanyakan “Nilai Akademik” yang diperolehnya”.
Richard Barenden dalam bukunya “Creating The Future” menegaskan bahwa “ruang kelas terbaik bukanlah di sekolah dan bukan pula di universitas, melainkan berada di sekitar meja makan di rumah-rumah kita”. Namun sayangnya, kehidupan saat ini makan bersama anggota keluarga di rumah sudah jarang terjadi.
Selain itu, Peter Evans dan Geoff Deehan dalam bukunya “Descent of Mind” mengatakan bahwa masalah pendidikan dewasa ini terlalu banyak guru melaksanakan pengajaran (teahing), namun terlalu sedikit peserta didiknya belajar (learning). Padahal sukses atau gagal dalam segala kehidupan sangat tergantung pada efektivitas belajar (learning), demikian John Maxwell (2010) dalam bukunya berjudul “Sometimes You Win, Sometimes You Lose is Learn”.
Dalam proses pendidikan dan pembelajaran menyenangkan, peran guru profesional menjadi sangat penting, yakni guru yang memiliki kemampuan abstraksi maupun guru yang memiliki komitmen (semangat kerja, tanggung jawab kerja dan sangat mencintai murid-musirdnya) adalah tinggi, proses pendidikan dan pembelajaran penuh rileksasi dengan waktu istirahat yang cukup dan hubungan interpersoanal sesama warga sekolah, baik pendidik, tenaga kependidikan dan peserta didiknya dalam suasana penuh kedamaian dan harmonis.
Faktor lainnya adalah lingkungan sekolah, yakni ”Sekolah Dalam Taman”. Sekolah dalam taman lebih bermakna pada suasana (atmosfir) menyenangkan karena selain taman sekolah yang tertata rapi dan artistik juga disertai hubungan kondusif dan harmonis sesama warga sekolahnya,
Selain itu, sekolah dalam taman bermakna pada pengertian fisik, yakni taman yang didesain dengan dua elemen dasar fisik yang saling melengkapi dan secara simultan menciptakan estetika taman, yakni “hardscape” dan “softscape”. Hardscape adalah elemen taman yang bersifat padat dan keras, seperti air terjun, air mancur, batu koral, lantai paving maupun ornamen lainnya yang mampu memberi karakter sebuah taman. Sementara softscape merujuk pada elemen holtikultural yang memberikan jiwa dan hidup pada sebuah taman, seperti pepohonan, dedaunan, dan rumput-rumputan.
Kata ”Taman” selalu dikaitkan dengan suatu tempat yang menyenangkan atau yang dijanjikan menyenangkan membuat semua orang ingin memperoleh kesempatan menempati, berdiam dan tinggal lama di dalamnya.
Para pakar pembelajaran bersepakat bahwa sekolah yang biasa digunakan sebagai tempat memperoleh dan mengkonstruksi informasi atau ilmu pengetahuan adalah tempat yang menyenangkan bagi semua, khususnya bagi peserta didik agar ia memperoleh pengetahuan yang lebih baik dan lebih bermakna. Sebaliknya sekolah yang tidak menyenangkan berdampak tidak saja pada kurang sempurnanya informasi atau ilmu pengetahuan yang diperoleh peserta didik juga berdampak jauh lebih buruk, yakni menghasilkan ketidakberdayaan atau kebodohan peserta didik yang dipelajarinya.
Anna Castelli Ferrieri menyatakan, “Tidaklah benar bahwa apa yang berguna itu indah, melainkan yang indahlah yang berguna karena keindahan dapat memperbaiki cara hidup dan berfikir seseorang”, dikutip dari Daneil H.Pink (2006) dalam bukunya ” A Whole New Mind”. Ia menunjukkan bukti sebuah studi dari Universitas Georgetown yang menemukan bahwa jika para siswa, guru, dan metode pembelajaran sama kualitasnya, memperbaiki lingkungan fisik sekolah memberikan pengaruh secara signifikan terhadap peningkatan hasil test peserta didik sebesar 11 persen”.
Penelitian terbaru oleh institusi tersebut menemukan bahwa anak dengan gangguan konsentrasi (attention deficit disorder) memperlihatkan berkurangnya gejala-gejala gangguan saat mereka menghabiskan waktu di lingkungan alamiah, kemampuan berkonsentrasi untuk menyelesaikan tugas dan mengikuti perintah secara drastis membaik. Ruang hijau memiliki dampak pemulihan terhadap perhatian seksama, jenis fokus intensif yang dibutuhkan untuk belajar dan bekerja, demikian Jennifer Ackerman menegaskan dalam sebuah artikelnya yang dimuat pada Nasional Geographic Edisi Maret 2007.
Frances Kuo dan rekan-rekannya di Landscape and Human Health Laboratory dari University of Illinois meneliti dampak ruang hijau terhadap kesehatan psikologis penduduk menyimpulkan bahwa mereka yang tinggal di gedung-gedung dekat area hijau memiliki rasa kemasyarakatan yang lebih kuat dan lebih baik dalam mengatasi tekanan dan kesulitan hidup, merasa lebih aman, dan tingkat kejahatan lebih rendah. Maknanya adalah semakin hijau lingkungan di sekitar kita, maka akan semakin rendah tingkat kriminalitas di sekitar lingkungan tersebut.
Jennifer Ackerman (2007) mengatakan “Tidaklah mengejutkan jika kita merasakan alam mengembalikan kesegaran kita dan kita makhluk manusia tidak tumbuh di tengah-tengah gedung beton, melainkan di hutan liar, padang pepohonan, dan ladang rumpun. Telinga kita tidak diciptakan untuk mendengar raungan sirine, melainkan untuk suara gesekan daun-daun kecil (bukan daun yang terbuat dari bahan plastic). Mata kita berevolusi tidak untuk membedakan warna-warni mati pada tembok bangunan megah, melainkan untuk menikmati warna-warni halus keemasan, hijau zaitun, ungu kemerahan yang menandakan ranumnya buah dan lembutnya dedaunan, kemudian otak kita berevolusi untuk memberi kehidupan yang lebih bermakna”.
Ia mengemukakan berbagai penelitian ilmiah menunjukkan bahwa “ruang-ruang yang dipenuhi tumbuhan berdaun dapat menyaring polusi dan mengikat partikel-partikel mungil kotoran dan hasil pembakaran, pepohonan di sepanjang jalan dapat mengurangi partikulat di udara dari emisi mobil dan bus. Kelompok besar pepohonan bahkan memiliki dampak yang lebih besar sebagai paru-paru pembersih udara dari zat-zat kimia berbahaya.
Di Chicago para ilmuan menemukan bahwa setiap tahun pepohonan menyerap sekitar 212.281 kilogram partikulat, 88.904 kilogram nitrogen dioksida, 84.368 kilogram sulfur dioksida dan 15.422 kilogram karbon monoksida. Suhu aspal atau beton di bawah naungan pohon dapat lebih dingin 20 derajat celsius dibanding sebidang aspal yang sepenuhnya berada di bawah terik matahari musim panas, udara di bawah pepohonan dapat lebih dingin tiga hingga empat derajat. Dua penelitian besar di Belanda dan Jepang menunjukkan, mereka yang tinggal di wilayah dengan akses mudah ke ruang-ruang hijau memiliki kesehatan lebih baik dengan tingkat kematian lebih rendah”.
Dalam prespektif yang lebih mendalam dan jangka panjang, maka pendidikan dan/atau pembelajaran menyenangkan memerlukan riset dan pengembangan secara terus menerus.
Semua ini semestinya telah menjadi milik kita sejak dulu ketika kita dilahirkan. Namun jika baru hari ini kita memahaminya, menyadarinya dan melaksanakannya, maka belumlah terlambat
oleh Dr. Aswandi Dosen FKIP UNTAN
[learn_press_profile]