Program Organisasi Penggerak
JIMMY Paat, dosen Universitas Negeri Jakarta mengatakan “Sejak era Orde Baru, program pelatihan guru sudah berkembang (tambahan penulis, sekalipun pelatihan dan penataran guru tersebut belum efektif). Pada saat bersamaan berdiri banyak Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) sampai ke daerah-daerah. Menurut dia, pemerintah perlu menaruh perhatian lebih ke perbaikan menyeluruh input guru, salah satu yang mendesak adalah perbaikan LPTK”, dikutip dari Kompas, 24 Juli 2020. Ada pendapat mengatakan, “Sebaik apapun LPTK, belum mampu menghasilkan guru dan tenaga kependidikan yang kompeten untuk selama-lamanya, terlebih lagi di era disruptif yang dicirikan perubahan semakin cepat, tak terduga, tak pasti, tak linier dan sejenisnya, masih memerlukan pelatihan (inservice training) yang baik. Berbagai upaya telah dlakukan Kemendikbud dalam mengintervensi sekolah, seperti program rujukan, sekolah model, sekolah imbas, sekolah standar nasional, rintisan sekolah bertaraf internasional. Inisiatif tersebut sering terhenti karena kurangnya komitmen dari pemangku kepentingan dan kolaborasi, partisipasi serta keterlibatan komunitas tidak begitu kuat dalam melanjutkan inovasi pendidikan. Di pihak lain, banyak lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat memiliki rekam jejak yang baik dalam meningkatkan kualitas guru, tenaga kependidikan dan/atau hasil belajar siswa, namun belum dievaluasi, belum diidentifikasi secara baik ke dalam program pelatihan. Satu alternatif program pelatihan guru dan tenaga kependidikan yang ditawarkan adalah Program Organisasi Penggerak, disingkat POP. Program unggulan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, antara lain Program Organisasi Penggerak (POP), yakni program kolaborasi melibatkan dan memberdayakan masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dibuktikan dari rekam jejak yang baik melalui dukungan pemerintah untuk menginisiasi dan transformasi hadirnya sekolah-sekolah penggerak (best practice). Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas guru dan kepala sekolah berdasarkan model-model pelatihan yang sudah terbukti efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Organisasi kemasyarakatan bidang pendidikan telah melakukan banyak program pelatihan guru dan kepala sekolah secara mandiri, setelah diseleksi dan diverifikasi oleh tim pakar independen, dilaksanakan secara profesional dan transparan (dalam hal ini dipercayakan kepada tim evaluator berasal dari The SMERU Reseach Institute) dipilih untuk menyelenggarakan program organisasi penggerak. Adapun rekam jejak yang digunakan untuk mengkategorikan (gajah, macan dan kijang) organisasi penggerak, antara lain meliputi: (1) memiliki bukti empiris dampak program terhadap hasil belajar siswa; (2) memiliki bukti empiris dampak program terhadap peningkatan motivasi, pengetahuan dan praktek mengajar guru dan kepala sekolah; dan (3) memiliki pengalaman merancang dan implementasi program dengan baik. Pada tahap seleksi, organisasi masyarakat dapat melakukan proses registrasi, mengiriman proposal kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI agar dapat diidentifikasi kelayakan, dievaluasi (teknis dan keuangan) dan diverifikasi sebelum ditetapkan sebagai penyelenggara program organisasi penggerak. Linimasa pengajuan proposal dimulai 16 Maret 2020 hingga batas akhir verifikasi pada 30 Juni 2020. Skema pendanaan POP bersumber dari APBN sebesar Rp. 595 miliar/tahun, pembiayaan mandiri dan dana pendamping. Surat Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan nomor: 2314/B.B2/GT/2020, tertanggal 17 Juli 2020 mengumumkan 156 lembaga pendidikan atau hasil verifikasi sebanyak 183 proposal yang diselenggarakan organisasi masyarakat calon penerima program organisasi penggerak. Setelah membaca, memperhatikan dan mempertimbangkan hasil seleksi POP tersebut, Muhammadiyah memutuskan untuk mundur dari program organisasi penggerak dengan alasan berikut ini: (1) Muhammadiyah memiliki 30.000 satuan pendidikan yang tersebar di seluruh Indonesia. Perserikatan Muhammadiyah sudah banyak membantu pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan sejak sebelum Indonesia merdeka, sehingga tidak sepatutnya diperbandingkan dengan organisasi masyarakat yang sebagian besar baru muncul beberapa tahun terakhir ini; (2) Kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal sangat tidak jelas…; dan (3) Muhammadiyah akan tetap berkomitmen membantu pemerintah dalam meningkatkan pendidikan sekalipun tanpa keikutsertaan dalam program organisasi penggerak”. Sikap yang sama, mundur dari program organisasi penggerak diikuti oleh LP Ma’arif Nahdatul Ulama karena sejak awal merasa POP ini aneh, tidak jelas, dan tidak taat asas, seleksi program ini dilaksanakan seenaknya dan Persatuan Guru Republik Indnesia (PGRI) menyatakan sikap tidak bergabung. Menilai program ini tidak berkaitan dengan persoalan guru yang sangat mendesak (prioritas) untuk diselesaikan, seperti kejelasan nasib guru honorer yang telah dinyatakan lulus PPPK sejak 2019, tidak cukup waktu, kriteria penetapan peserta tidak jelas. Mundurnya tiga organisasi masyarakat tersebut menggundang respons negatif dari berbagai pihak terhadap program organisasi penggerak tersebut. Dari berbagai sumber, penulis kemukakan respons negatif yang dimaksud: (1) di saat bangsa ini berjuang melawan dampak covid 19, semestinya Kemendikbud memiliki sense of crisis untuk membantu masyarakat yang terdampak sebagaimana diinginkan oleh bapak presiden RI, bukan justru membagi-bagikan uang untuk kegiatan yang tidak jelas tujuannya dan diberikan kepada pihak yang dinilai kurang tepat sasaran. Ada pendapat mengatakan, “Cara terbaik menghancurkan bangsa ini adalah membayar mahal pekerja yang tidak profesional dan membiayai kegiatan yang tidak jelas manfaatnya”; (2) POP ini belum ada payung hukumnya, tentu saja akuntabilitas keuangan negara sulit dipertanggung jawabkan, dan KPK menyatakan siap untuk mengaudit POP ini; (3) kredibilitas dan rekam jejak organisasi masyarakat yang akan melaksanakan POP ini dipertanyakan. Orang bijak mengatakan bahwa “kebenaran itu tidak sebatas ada tanda tangan/materei di sehelai kwitansi dan dokumen administrative”; (4) sistem dan mekanisme seleksi termasuk tim independen dipertanyakan integritas dan transparansi. Bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Mendikbud berkali-kali menegaskan bahwa “POP adalah program paling berintegritas dan transparan di Indonesia!. Pemahaman penulis, sesuatu dinyatakan berintegritas berarti program yang tidak lapuk karena hujan, tidak lekang karena panas dan tetap kokoh (istiqomah) sekokoh batu karang. Faktanya digertak mundur oleh tiga organisasi masyarakat, spontan minta maaf, semestinya dijelaskan dulu, setelah ditemukan kesalahan, baru minta maaf; dan (5) belum menjawab pertanyaan 5W1H persoalan guru, misalnya “pelatihan bahasa Inggris untuk bayi dan pelatihan guru melek film”, dikutip dari Kompas, 25 Juli 2020. Sepengetahuan penulis Kepmendibud RI telah mengatur larangan mengajarkan baca, tulis dan berhitung (calistung) pada jenjang Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Menghadapi fenomena ini, tidak perlu kita kebakaran jenggot, hadapi dengan berpikir kritis. Siapapun diantara kita tidak membantah sedikitpun bahwa tiga organisasi kemasyarakatan yang menyatakan mundur atau tidak bergabung pada program organisasi penggerak ini sangat besar jasa dan pengabdiannya merintiss dan membangun pendidikan di negeri ini, Muhaimin Iskandar, dipanggil Cak Imin (Ketua PKB) menegaskan siapa yang membantah realitas tersebut “Kualat”. Kembali pada esensi kegiatan program organisasi pengerak, yakni pelatihan guru dan tenaga kependidikan. Pertanyaan muncul, apakah tiga organisasi kemasyarakatan tersebut memiliki kapabilitas dan kompetensi yang lebih baik dari organisasi kemasyarakatan lainnya dalam program pelatihan guru dan tenaga kependidikan?. Pertanyaan berikutnya adalah, setelah lonceng kematian lembaga pendidikan dan pelatihan (diklat) guru yang ada selama ini dibunyikan. Bagaimana nasib keberlangsungan hidupnya?. Berikut ini, izinkan penulis kemukakan empat standar penilaian kelayakan program pendidikan yang dikeluarkan oleh The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation yang dapat digunakan untuk menilai kelayakan Program Organisasi Penggerak (POP). Empat standar yang dimaksud adalah standar: propriety, utility, feasibility and accuracy.
PROPRIETY STANDARD atau standar kesopanan menekankan bahwa penilaian dilaksanakan secara legal, etis, dan sesuai dengan hak orang atau client yang dinilai atau diuji. Aspek-aspek propriety strandars terdiri dari; (1) service orientation, yakni penilaian yang mengedepankan prinsip pendidikan, pemenuhan misi kelembagaan, dan performansi yang efektif atas tanggung jawab pekerjaan, sehingga kebutuhan peserta didik, komunitas dan masyarakat memperoleh titik temu; (2) formal evaluation guidelines, yakni petunjuk penilaian harus dinyatakan dalam statemen kebijakan pemerintah, persetujuan yang sudah dinegosiasi, dan/atau petunjuk penilaian sehingga penilaian adalah konsisten, adil dan sesuai dengan hukum pertinent dan kode etik; (3) conflict of interest, yakni konflik kepentingan harus diidentifikasi dan dihadapi secara terbuka dan jujur sehingga konflik-konflik yang berbeda kepentingan tidak mencurigai (compromise) proses dan hasil penilaian; (4) access to personnal evaluation reports, yakni akses terhadap pelaporan evaluasi personalia harus dibatasi hanya individu yang secara sah untuk meninjau ulang dan menggunakan laporan, sehingga penggunaan informasi yang tepat dapat dijamin; (5) interactions with evaluatee, yakni evaluasi harus mengarahkan pihak yang dievaluasi secara professional, baik berbudi dan bersikap sopan sehingga self esteem, motivasi, reputasi yang professional, unjuk kerja dan sikap mereka terhadap evaluasi meningkat atau setidaknya tidak terjadi kerusakan yang tidak perlu. UTILITY STANDARD atau standar kegunaan atau kebermanfaatan dimaksudkan untuk memberi petunjuk penilaian sehingga standar kegunaan menjadi informatif, tepat waktu, dan berpengaruh. Aspek-aspek utility strandars terdiri dari; (1) constructive orientation, yakni evaluasi harus bersifat membangun sehingga penilaian dapat membantu institusi atau lembaga untuk mengembangkan sumber daya manusia dan mendukung serta membantu pihak yang dievaluasi untuk menyediakan layanan atau service yang baik; (2) defined uses, yakni pengguna atau kegunaan dari penilaian harus diidentifikasi sehingga penilaian dapat menyampaikan pertanyaan yang sesuai; (3) evaluator credibility, yakni sistem evaluasi harus diatur dan dilaksanakan oleh orang dengan kualifikasi yang dibutuhkan, ketrampilan dan otoritas. Dan para penilai harus melakukannya secara professional sehingga hasil evaluasi dihormati, dihargai dan digunakan; (4) functional reporting, yakni laporan harus jelas, tepat waktu, akurat dan berhubungan erat dengan yang dievaluasi sehingga hasil evaluasi memiliki nilai praktis bagi orang yang dievaluasi dan audient yang sesuai; dan (5) follow-up and evaluation impact, yakni evaluasi harus ditindaklanjuti sehingga para pengguna dan yang dievaluasi terbantu untuk memahami hasil dan membuat action atau tidakan yang sesuai. FEASIBILITY STANDARD atau standar kemudahan atau dapat dilaksanakan menghendaki sistem evaluasi yang mudah diterapkan seefisien mungkin, baik dalam penggunaan waktu dan sumber daya lainnya, pendanaan yang memadai dan dapat berjalan secara terus menerus bila dilihat dari sejumlah sudut pandang lainnya. Aspek-aspek feasibility strandars terdiri dari; (1) practical procedures, yakni prosedur evaluasi harus direncanakan dan dilakukan sehingga penilaian menghasilkan informasi yang digunakan disamping meminimalisasi gangguan dan biaya; (2) political viability, yakni sistem evaluasi harus dikembangkan dan dimonitor secara berkolaborasi, sehingga semua yang berhubungan dengan penilaian dapat secara konstruktif terlibat dalam membuat kerja sistem; (3) fiscal or cost viability, yakni waktu dan sumber yang memadai harus disediakan untuk aktivitas penilaian atau uji kompetensi sehingga perencanaan evaluasi dapat diwujudkan secara efektif dan efisien. ACCURACY STANDARD atau standar ketepatan menghendaki agar informasi yang diperoleh secara teknis akurat dan kesimpulan yang diambil logis dan didukung oleh data. Aspek-aspek strandars terdiri dari; (1) defined role, yakni peranan dan tanggung jawab, sasaran performansi dan kualifikasi yang diperlukan pihak yang dievaluasi harus didefinisikan secara jelas sehingga evaluator dapat menentukan data penilaian secara tepat; (2) work environment, yakni konteks dimana pihak yang dievaluasi berkerja harus diidentifikasi, dipaparkan dan dicatat sehingga pengaruh dan keterbatasan lingkungan pada kinerja dapat dipertimbangkan dalam penilaian; (3) documentation of procedures, yakni prosedur evaluasi yang sebenarnya terjadi harus didokumentasikan sehingga pihak yang dievaluasi dan pengguna lainnya dapat mengakses data actual dalam hubungannya dengan yang sudah ditetapkan; (4) valid measurement, yakni prosedur pengukuran harus dipilih atau dikembangkan dan diterapkan pada peranan mendasar yang dipaparkan dan penggunaan yang dimaksud sehingga kesimpulan yang berhubungan pihak yang dievaluasi tepat dan akurat;; (5) reliable measurement, yakni prosedur pengukuran harus dipilih atau dikembangkan untuk menjamin reabilitas sehingga informasi yang diperoleh akan menyediakan indicator yang konsisten dari unjuk kerja dari pihak yang dievaluasi; (6) systemic data control, yakni informasi yang digunakan dalam penilaian harus dijaga keamanannya dan harus diproses dan ditangani secara hati-hati. Hal ini guna menjamin bahwa data yang ditangani dan dianalisis sama dengan data yang dikumpulkan; (7) bias control, yakni proses evaluasi harus menyediakan perlindungan keamanan terhadap bias sehingga kualifikasi pihak yang dievaluasi penampilannya dinilai secara adil; dan (8) monitoring evaluation systems, yakni sistem penilaian harus direview secara periodik dan secara sistematis sehingga revisi yang tepat dapat dibuat. Berdasarkan evaluasi program pendidikan yang dikeluarkan oleh “The Joint Committee on Standards for Educational Evaluation” tersebut di atas, menambah keyakinan penulis, bahwa Program Organisasi Penggerak (POP) perlu ditinjau ulang untuk memperoleh penyempurnaan. Menutup opini ini, izinkan penulis menyampaikan sebuah kata bijak, barangkali ada manfaatnya untuk mengingatkan kita semua sebelum menyampaikan sebuah pesan penting seperti ini. Kata bijak yang dimaksud adalah “Bagaimana menceritakan laut kepada katak yang tidak pernah beranjak dari balongnya. Bagaimana berkata tentang salju kepada bangau negeri tropis yang belum pernah menjauhi kubangnya. Bagaimana bicara tentang masa depan kepada orang yang asyik menatap masa lalunya. Dan bagaimana berbicara tentang hidup dan kehidupan kepada cendekiawan yang terpenjara oleh doktrinnya sendiri” (Penulis, dosen FKIP UNTAN).
[learn_press_profile]