Rekrutmen Guru Tanpa Diskriminasi
TAHUN 2021 ini pemerintah berencana merekrut Aparatur Sipil Negara (ASN) guru melalui mekanisme Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), tidak melalui mekanisme Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).
PNS adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai ASN secara tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) untuk menduduki jabatan pemerintahan. Kepadanya diberi hak berupa: gaji, tunjangan dan fasilitas, cuti, jaminan pensiun dan jaminan hari tua, perlindungan dan pengembangan kompetensi.
Sedangkan, PPPK adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. Kepadanya diberi hak berupa: gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan dan pengembangan kompetensi.
Setiap warga negara (termasuk guru honorer di sekolah negeri dan sekolah swasta) mempunyai kesempatan yang sama menjadi calon guru PPPK setelah memenuhi syarat berikut ini: (a) batas usia pelamar 20 tahun (pertanyaannya, bukankah usia sarjana ditambah satu tahun PPG minimal 23 tahun) hingga 1 tahun sebelum Batar Usia Pensiun ( BUP guru 59 tahun); (b) sarjana linier dan telah lulus Pendidikan Profesi Guru (PPG); dan (c) terdaftar di Dapodik.
Adapun alasan rekrutmen guru melalui mekanisme PPPK tahun 2021 ini adalah sebagai berikut; (1) kebutuhan guru di sekolah negeri mencapai satu juta guru (di luar guru PNS yang saat ini mengajar); (2) upaya menyediakan kesempatan yang adil untuk guru honorer yang kompeten agar mendapat penghasilan layak; (3) menjawab permasalahan distribusi guru. Bapak Bima Haria Wibisana selaku Kepala Badan Kepegawaian Negera (BKN) menegaskan dari hasil evaluasi perekrutan CPNS formasi guru, satu catatan penting adalah banyaknya guru berstatus PNS meminta mutasi setelah pengangkatan. Hal ini menurut pemerintah dianggap satu penyebab masalah pemerataan pendidikan (menghancurkan sistem distribusi guru secara nasional) hingga kini belum terselesaikan, dan PPPK diasumsikan sebagai jawaban atau solusi terhadap persoalan distribusi atau disparitas guru di Indonesia.
Menurut penulis asumsi tersebut tidak seluruhnya benar. Distribusi guru tidak merata ada benarnya, namun disparitas tersebut merupakan bagian kecil dari permasalahan guru secara keseluruhan dan bukan salahnya guru. Masalah utama guru di negeri ini dari dulu hingga sekarang adalah: (1) secara kuantitatif jumlah guru kurang, terutama guru produktif di Sekolah Kejuruan; (2) kualifikasi guru rendah, masih ditemukan terdapat 46.921 orang guru belum sarjana; (3) kualitas atau kompetensi guru rendah dan masih banyak guru mismatch; (4) kompensasi atau kesejahteraan guru kurang layak, kecuali guru yang telah menerima tunjangan profesi; dan (5) manajemen guru kurang efektif.
Mengapa (disparitas) masalah kecil dari persoaalan guru tersebut dibesarkan-besarkan, apa benar rusaknya sistem distribusi guru karena ada segelintir guru mutasi?, kemudian dicegah (ditakuti) dengan mekanisme perpanjangan kontrak. Sekali lagi, jangan salahkan guru. Pribahasa mengatakan, “Jangan hanya karena ada se ekor tikus, sebuah lumbung padi dihancurkan” dan “Kebijakan Lain Gatal, Lain yang Digaruk”.
Pemerintah telah menerbitkan SKB 5 Menteri yakni Mendiknas, Menneg PAN RB, Mendagri, Kenkeu, dan Menag tentang “Penataan dan Pemerataan Guru PNS”, mulai dilaksanakan 2 Januari 2012, namun implementasi SKB tersebut berjalan kurang efektif. Dalam pengamatan penulis, ketidakefektifan SKB tentang Penataan dan Pemerataan Guru PNS tersebut, antara lain disebabkan perbedaan persepsi tentang realitas guru antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dimana pemerintah pusat selalu berasumsi bahwa jumlah guru adalah cukup, persoalan guru bukan jumlah melainkan disparitas. Sementara pemerintah daerah tetap pada keyakinannya bahwa jumlah guru adalah kurang, disamping mengakui adanya permasalahan disparitas. Berpuluh tahun perbedaan persepsi tentang realitas guru antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah itu terjadi. Jangan puluhan tahun, ratusan tahun, bahkan hingga hari kiamat persoalan distribusi ini tetap saja ada selama terdapat perbedaan persepsi tersebut. Berapa banyak sumber daya yang dihabiskan (mubazir) untuk membayar egoisme. Selain itu, penulis mengamati sangat kuatnya intervensi politik praktis pemerintah daerah menambah rumitnya persoalan distribusi guru ini, Sekali lagi, bukan salah guru. Jawaban terhadap permasalahan distribusi guru adalah efektivitas manajemen keguruan yang secara simultan dari hulu hingga hilirnya.
Perbedaan utama dari dua status ASN guru (PNS dan PPPK) adalah ketidakpastian karier dan tidak memperoleh pensiun bagi guru berstatus PPPK. Kepastian karier ditentukan beberap hal, yakni: (1) pencapaian kinerja; (2) kesesuaian kompetensi; (3) kebutuhan instansi; (4) setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK). Mekanisme perpanjangan kontrak ini merupakan titik rawan dan sumber konflik bagi guru berstatus PPPK.
Sedangkan, pemutusan hubungan kerja dilakukan karena; (1) jangka waktu perjanjian kerja berakhir; (2) meninggal dunia; (3) atas permintaan sendiri; (4) perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK; dan (5) tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat melaksanakan tugas sebagai PPPK.
Rencana rekrutmen guru melalui mekanisme PPPK tersebut mendapat respons negatif dari masyarakat, antara lain: (1) Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memandang kebijakan tersebut adalah bentuk disriminatif terhadap profesi guru dan dapat membuat profesi guru menjadi profesi kurang dipandang, tidak memiliki kepastian status kepegawaian dan jenjang karir guru. Selain itu, menyebabkan lulusan terbaik sekolah menengah tidak berminat meneruskan studi lanjutnya di berbagai program studi di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK), akibatnya dikhawatirkan akan terjadi penurunan kualitas pendidikan di masa mendatang, dikuti pada Press Release PB PGRI, 31 Desember 2020; (2) bapak Muhaimin Iskandar selaku Wakil Ketua DPR RI mengatakan wacana penghapusan jalur CPNS guru dikhawatirkan akan menurunkan kualitas dan kuantitas guru di masa depan, dikutip dari Kompas, 5 Januari 2021; (3) bapak Syaiful Huda selaku Ketua Komisi X DPR RI dan anggotanya Himmatul Aliyah menegaskan bahwa kebijakan tersebut mempengaruhi turunnya minat kalangan muda memilih profesi guru dan kami menolak wacana penghapusan jalur CPNS bagi guru dalam seleksi ASN, dikutip dari RRI, 4 Januari 2021; (4) bapak Dede Yusuf selaku Wakil Ketua Komis X DPR RI akan meminta penjelasan terkait peniadaan penerimaan CPNS formasi guru tahun 2021. Komisi X meminta pemerintah mengevaluasi keputusan yang hanya focus pada penerimaan guru melalui mekanisme PPPK, dikutip dari Republika, 8 Januari 2021; (5) rekrutmen Guru terbatas PPPK membenturkan visi Indonesia; manusia unggul, Indonesia Maju yang disampaikan oleh bapak presiden Joko Widodo; dan (6) menurut penulis, kebijakan tersebut merupakan lonceng kematian bagi Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Alhamdulillah, beberapa hari terakhir ini, bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Mendikbud RI mengkonfirmasi bahwa rekrutmen CPNS untuk formasi guru tetap ada. Berita yang memuat tidak ada lagi formasi CPNS untuk guru adalah pernyataan yang keliru dan tidak pernah menjadi kebijakan Kemendikbud RI dan guru yang memiliki kinerja baik sebagai guru PPPK akan dipertimbangkan saat mereka mengikuti tes CPNS. Kesimpulannya, “Rekrutmen Guru Tanpa Diskriminasi”.
oleh Aswandi Dosen FKIP UNTAN