Revolusi Akhlak
Al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya’ Ulumuddin” memberikan pengertian tentang akhlak, yakni spontanitas manusia dalam bersikap atau perbuatan yang telah menyatu atau melekat dalam diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi.
Mahmud al Mishri (2009) dalam kitabnya “Mausu’ah min Ahlaqir Rasul” mengutip definisi akhlak dari Al-Jahish, yakni keadaan jiwa seseorang yang selalu mewarnai tindakan dan perbuatannya, tanpa pertimbangan ataupun keinginan.
Al-Gazali dan sebagian ulama mengemukan beberapa karakteristik akhlak mulia antara lain: merasa malu melakukan keburukan, tidak senang menyakiti, mengadu domba dan melaknat atau mencela, tidak suka memfitnah, lemah lembut atau santun, penyayang, berkata jujur, sedikit bicara banyak karya, adil, sabar, pemaaf, suka bersyukur, menjaga kesucian dan harga diri, tidak ujub, sombong dan dengki, pemurah dan tidak kikir melainkan peduli terhadap penderitaan orang lain.
Allah SWT dan Rasulullah Saw memerintahkan dan mendorong seluruh hambaNya untuk berakhlak mulia terhadap seluruh umat manusia.
Nabi Saw bersabda, “Orang yang paling baik Islamnya adalah yang paling baik akhlaknya”.
Komponen utama agama Islam adalah akhlak, berdiri di atas empat pilar atau pondasi, yakni: kesabaran, keberanian, keadilan dan kesucian”, demikian Imam Ibnu Qayyim menjelaskan dalam kitabnya “Al-Madarij”.
Agama memerintahkan bahwa seluruh ibadah dan muamalah dalam hidup dan kehiupan ini berkaitan erat dengan akhlak mulia.
Penyair Arab Syauqi Bey; “Sesungguhnya kejayaan suatu umat atau bangsa terletak pada akhlaknya. Jika itu telah runtuh, maka runtuh pulalah bangsa itu.
Thomas Licona seorang pakar pendidikan karakter menegaskan bahwa satu tanda kehancuran sebuah bangsa adalah hancurnya akhlak generasi mudanya.
Mengingat dan memperhatikan pentingnya akhlak mulia ini, maka Allah SWT mengutus Rasulullah Saw ke muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak manusia. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia”, dikutip dari HR. Bukhari dan Ahmad.
Al- Mishri (2009) mengingatkan agar kita tetap waspada terhadap beberapa faktor yang dapat membelokkan akhlak mulia, diantaranya: memperoleh kekuasaan, takut kehilangan kekuasaan, kekayaan, kemiskinan, kepedihan dan penderitaan, dan penyakit.
Menyadari pentingnya akhlak mulia ini bagi keselamatan dan kebahagiaan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka sejak lama (jauh sebelum kemerdekaan dan berlanjut hingga saat ini) upaya menyempurnakan akhlak ini telah dilakukan, beberapa diantara penggagasnya: Dr. Sutomo tahun 1908, para pemuda melalui Sumpah Pemuda 1928, KH. Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah tahun 1912 dan KH. Hasyim Asyari melalui Nahdatul Ulama, Ki Hadjar Dewantara melalui Taman Siswa di Yogyakarta, Di tahun 1870 Willem Iskandar melalui Normal School di Tano Bato Tapanuli Selatan, tahun 1926 Muhammad Syafei melalui Indonesische Nijverheid School di Kayutanam Sumatera Barat, RA. Kartini di Jepara, Dewi Sartika di Jawa Barat, semua presiden RI, terdiri dari: Ir. Soekarno, Suharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudoyono dan Joko Widodo.
Bermodal berbagai kekuatan “power” yang mereka miliki, hasilnya, seperti kita lihat sendiri. Fakta-fakta tersebut di atas cukup menjadi bukti bahwa memperbaiki akhlak bangsa ini bukanlah pekerjaan mudah.
Muhammad Rizieq bin Hussein Syihab, lebih dikenal Habib Rizieq Syihab (HRS) selama kurang lebih tiga setengah tahun tinggal di Arab Saudi, kembali ke tanah air ingin melakukan hal yang sama, yakni merevolusi akhlak. Semua rakyat Indonesia harus bersyukur, jika ada warga negaranya ingin menyempurnakan atau memperbaiki akhlak rakyatnya, jangan belum-belum sudah berprasangka buruk dan berpikir negatif terhadap keinginan baik dan mulia ini.
Semoga di masa-masa yang akan datang, akhlak seluruh rakyat Indonesia menjadi lebih mulia. Aamiiin.
Penguatan pendidikan moral, akhlak dan karakter didasarkan pada beberapa strategi sebagai berikut: (1) berorientasi pada perkembangan moral, akhlak, karakter dan sejenisnya, dilakukan secara menyeluruh dan terpadu; (2) memberi pemahaman yang benar tentang dimensi moral, akhlak dan karakter yang akan dibentuk; (3) keteladanan dalam penerapan di lingkungan masing-masing, (3) terintegrasi dalam semua aspek kehidupan tanpa batas ruang dan waktu, dan (4) dilaksanakan secara dialogis bukan indoktrinasi, melalui pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari.
Kegagalan pendidikan akhlak, moral dan karakter selama ini disebabkan ketidakpahaman dan ketidakjelasan konseptual tentang dimensi, strategi dan proses pendidikan akhlak, moral dan karakter. Misalnya dimensi apa-apa saja yang akan ditanamkan pada pikiran dan hati rakyat ini, harus jelas. Contoh yang baik seperti ini, Ketika Aisyah ra ditanya mengenai akhlak Rasulullah Saw, Ia menjawab “Akhlak Rasulullah adalah Al- Qur’an”, dikutip dari HR. Muslim, Hakim, Ahmad dan Baihaqi. Dimensinya sangat jelas, yakni: “Al-Qur’an”.
Thomas Licona selaku pakar pendidikan karakter secara tegas hanya memilih 2 (dua) nilai utama, yakni: (1) rasa hormat; dan (2) tanggung jawab.
Tidak perlu banyak, satu, dua cukup. Jika satu dimensi akhlak, moral dan karakter diajar secara konsisten, maka dimensi-dimensi akhlak, moral dan karakter lain mengikuti.
Kebiasaan memegang peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia, ia mengambil porsi yang cukup besar dalam usaha manusia. Riset Duke University Amerika Serikat menyimpulkan bahwa perilaku manusia sebesar 40% adalah kebiasaannya. Islam menggunakan kebiasaan sebagai salah satu sarana pendidikan”, dikutip dari Ibrahim Hamd Al-Qu’ayyid (2005) dalam bukunya “10 Kebiasaan Manusia Sukses Tanpa Batas”.
Ibn Miskawaih (1998) dalam bukunya “Tahdzib Al-Akhlaq” menegaskan bahwa “karakter manusia terletak pada fikirannya, dan dapat dicapai melalui pendidikan dan pergaulan, pengulangan atau kebiasaan dan disiplin”.
Mahatma Ghandi mengatakan “Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karakter (akhlak) mu”.
Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, bahwa otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan, maka semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) dalam bukunya berjudul “Adversity Quotient”.
Strategi berikutnya, Abdullah Nashih Ulwan (1999) dalam bukunya “Tarbiyatul Aulad fil Islam” mengatakan “keteladanan dalam pendidikan merupakan metode yang berpengaruh dan terbukti paling berhasil atau membekas dalam pembentukan akhlak, moral dan karakter, spritual dan etos sosial anak”.
Pendidikan dan pembelajaran berbasis akhlak, moral, karakter dan sejenisnya dirancang secara terintegrasi dengan pendidikan dan pembelajaran lainnya. Ia tidak dapat berdiri sendiri sebagai mata pelajaran dan dilakukan secara dialogis bukan indoktrinasi.
Berdasarkan penjelasan teoritis tersebut di atas dan pengalaman penulis dalam program penguatan akhlak, moral dan karakter, penulis tidak yakin “Revolusi Akhlak”, yang akan dilakukan Habib Rizieq Syihab terlaksana secara efektif, barangkali lebih tepat beliau menggunakan kata “Menyempurnakan atau Memperbaiki Akhlak”, karena landasan akhlak bangsa ini sudah jelas dan tidak semua akhlak rakyat ini bobrok
(Penulis Dr Aswandi, Dosen FKIP UNTAN).
Tag:informasi, mahasiswa, penelitian, rektor, untan