Sejarah Sebagai Pondasi Pendidikan
Ibarat sebuah bangunan, kekuatan dan kualitas sebuah bangunan sangat ditentukan oleh pondasi bangunan tersebut, demikian sebaliknya, pondasi bangunan yang tidak atau kurang kuat mengakibatkan bangunan yang berada di atasnya mudah runtuh atau roboh.
Bangunan pendidikan juga demikian sangat tergantung pada pondasinya (foundation of education). Jika pondasinya kuat, maka pendidikan akan bermutu, sebaliknya jika pondasinya tidak kuat, maka pendidikan tidak berkualitas. Permasalahan pendidikan di negeri ini adalah pendidikan yang berdiri di atas pondasi pendidikan yang tidak kuat atau tidak kokoh.
Menurut para pakar pendidikan, pondasi pendidikan, antara lain, pondasi: filosofis, psikologis, sosial, historis (sejarah), ekonomi, hukum, dan budaya. Mereka sependapat bahwa sejarah (history) adalah pondasi pendidikan. (Ornstein, 2008; Johnson, 2028; Ellis, 1991) .
Siapapun dia yang bergerak di bidang pendidikan, baik teoritisi maupun praktisi pendidikan wajib memahami dan mendasarkan sejarah sebagai pondasi kebijakan pendidikan yang dilaksanakannya.
Sampai sekarang tidak ada satupun definisi sejarah yang dapat diterima secara universal. Sejarah berkaitan dengan manusia dalam ruang dan waktu. Sejarah menjadi dasar ilmu-ilmu humaniora dan ilmu-ilmu sosial, dikutip dari Kochhar (2008) dalam bukunya “Teaching of History”.
Sejarah bukan sekedar data dan fakta (nama, dan tanggal suatu peristiwa) , melainkan interpretasi atau pemaknaan dari suatu peristiwa, artinya sejarah tidak banyak manfaatnya jika hanya dimaknai sebagai data dan fakta semata tanpa interpretasi bermakna. Dan sejarah adalah sebuah peristiwa yang diulang dalam versi dan modus yang berbeda, misalnya dari dahulu hingga sekarang ini kehancuran suatu kaum karena ulah orang munafik di sekitarnya,
Pada masa kuno sejarah tidak dihargai sebagai ilmu, pada periode itu, bermacam literatur ditulis dengan baik, tetapi masyarakat tidak menulis sejarah. Sejarah tidak menjadi mata pelajaran di sekolah. Periode berikutnya, sejarah terbukti menjadi kekuatan bagi kemajuan suatu bangsa. Churchill seorang negarawan Inggris mengatakan “Siapa yang mampu melihat jauh ke masa lalu suatu bangsa, dialah yang mampu melihat jauh ke masa depannya”. Cicero seorang sejarahawan yang hidup satu abad sebelum masehi mengatakan, “Jika kita tidak tahu apa yang terjadi sebelum kita lahir, berarti kita tetap sebagai anak kecil”.
Bacon seorang ilmuan mengatakan bahwa sejarah membuat orang lebih bijaksana. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarahnya. Dan sejarah telah terbukti mampu mengajarkan kepada kita berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur, bahkan sejarah mengajarkan kepada kita mengenai apa yang tidak dapat kita lihat.
Sebuah bangsa yang melupakan sejarah bangsanya memiliki daya saing rendah, demikian sebaliknya. Ketika Amerika mengalami kemunduran dan keterpurukan prestasi akademik siswanya bidang matematika, sains dan bahasa, jauh lebih rendah dari prestasi yang dicapai siswa Asia. Pemerintah Amerika memandang negerinya dalam keadaan bahaya atau “Nation at Risk”. Berkumpul para ilmuan guna mencari jawabannya. Ditemukan ternyata penyebab dari lemahnya daya saing bangsa akibat melemahnya rasa kebanggaan pelajar terhadap bangsanya. Solusinya, bukan upaya memperbaiki proses pembelajaran tiga bidang studi tersebut, melainkan mengefektifkan pelajaran sejarah dan mewajibkan siswanya mempelajari sejarah bangsanya.
Mengapa harus melalui sejarah?. Sejarah dapat mengkonsepsikan kehidupan dalam perjalanan waktu. Sejarah mengajarkan kepada kita cara menentukan pilihan untuk mempertimbangkan berbagai pendapat. Sejarah juga dapat mempersatukan atau menciptakan persaudaraan diantara kita.
Pentingnya sejarah itu, telah lama, lebih dari 5.000 tahun sebelum masehi diajarkan oleh filosuf China. Setelah mengetahui gurunya Chang Cong sakit keras, terlihat jelas sang guru mendekati akhir hidupnya. Loa Tzu (seorang filosof China) mengunjunginya guna menanyakaan apakah masih ada ilmu yang belum diajarkannya gurunya. Guru, “Apakah masih ada ilmu bijak yang belum diajarkan kepada kami.?” Kata Lao Tzu kepadanya. Sang guru Chang Cong menjawab, “Sekalipun kalian tidak bertanya, aku pasti akan mengajarkannya”. Apa itu?”, “Kamu harus turun dari keretamu bila kamu melewati kota kelahiranmu”. “Ya Guru, Ini berarti, orang tidak boleh melupakan asal usul (sejarah hidup) nya”, dikutip dari Michael C. Tang (2004) dalam bukunya “Kisah-Kisah Kebijaksanaan China Klasik”.
Faktanya, masih ditemui banyak orang tidak dan kurang menghargai sejarahnya. Di era desrutif sekarang ini, ada pendapat menyatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik (Expereince is the best teacher) sudah basi atau tidak dapat digunakan lagi di era perubahan yang semakin cepat, banyak kejutan dan bergeser secara tiba-tiba ini. Oknum desruktif inilah sekarang menjadi monster yang berusaha meniadakan atau tidak mewajibkan sejarah diajarkan di sekolah.
Setiap tahun peristiwa sejarah terbunuhnya puluhan ribuan rakyat Kalimantan Barat, sebagian diantara jasatnya terkubur di makan Mandor. Sejak disusunnya Peraturan Berkabung Daerah ini, penulis selaku anggota tim penyusun PERDA tersebut mengusulkan agar sejarah lokal Mandor ini diajarkan di sekolah. Faktanya sampai hari ini belum juga diajarkan.
Setelah itu, penulis mengikuti pendidikan perpolisian masyarakat (community police) di Jepang sempat menanyakan peristiwa kekejaman Jepang di Kalimantan Barat kepada Duta Besar RI di Jepang, beliau menjawab tidak mengetahui adanya peristiwa tersebut, yang ia tahu adalah kekejaman Westerling di Makasar, mengorbankan 5.000 orang. Puluhan ribu korban kekejaman penjajah di Kalbar tidak diketahui oleh orang penting di negeri ini, sementara 5.000 orang di Makasar beliau ketahui. Fakta dan datanya saja tidak pernah tahu, bagaimana lagi interpretasi makna atas kejadian menyakitkan dan memilukan dimana luka dari kejadian tersebut masih menganga sangat dalam (belum sembuh) hingga hari ini.
Percayalah bahwa fakta lupa atau tidak tahu sejarah masih banyak terdapat dalam masyarakat kita. Hal ini akibat dari belum efektifnya pembelajaran sejarah selama ini. Sekalipun pembelajaran sejarah belum efektif, solusinya tidak menghapuskan atau menjadikan sejarah sebagai mata pelajaran pilihan.
Akhirnya penulis simpulkan, bahwa mereka yang meniadakan pelajaran sejarah dapat dipastikan mereka adalah para monster yang tidak paham menyelenggarakan pendidikan ini. Jika ketidakpahamaan mereka dibiarkan atau tidak dikritisi, dikhawatirkan ketiakbenaran tersebut menjadi kebenaran (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]