Student Well-being
STUDENT atau “peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu”, dikutip dari UU RI No. 20/Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Peserta didik di negara ini adalah “Pelajar Pancasila”, yakni pembelajar sepanjang hayat (live long learning), memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai nilainilai Pancasila, memiliki karakteristik utama, yakni: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, bernalar kritis, kreatif, dan mandiri.
Student atau peserta didik memiliki kedudukan sentral atau main customer dalam sistem pendidikan, maknanya adalah muara dari seluruh sistem pendidikan adalah peserta didik (student). Apapun yang dilakukan di dunia pendidikan dimaksudkan untuk menciptakan kesejahteraan dan kebahagiaan pesera didik, dan siapapun yang bekerja di dunia pendidikan, baik guru maupun tenaga kependidikan lainnya, orientasi pikiran, sikap, tindakan dan pelayanan yang diberikannya tertuju pada kepentingan peserta didik, jika pelanggan utama (main customer) nya tidak untuk kepentingan peserta didiknya, menurut penulis akan lebih baik jika mereka meninggalkan pekerjaannya di bidang pendidikan, cari pekerjaan lain. Dan outcome dari keseluruhan proses pendidikan dan pengajaran bagi peserta didik adalah peserta didik (student) menjadi manusia pembelajar (learning person). Johnson, Musial, Hall dan Collnick (2018) dalam bukunya “Foundation of American Education” menegaskan, “major job of all education is to help student learn”.
Sudah on the trace jika selama ini, satu indikator penilaian kinerja guru diukur dari sejauhmana seorang guru melahirkan peserta didiknya menjadi manusia pembelajar.
Peserta didik (student) tidak hidup di dunia yang vakum, mereka hidup di dunia yang terbuka, dipengaruhi oleh berbagai hal, baik bersifat positif maupun negatif. Besarnya pengaruh dari luar dirinya, maka semua peserta didik wajib mendapat pembimbingan dari orang dewasa agar mereka bertumbuhkembang dengan baik
Menghadapi pengaruh dari luar yang sangat kuat, seperti pengaruh wabah COVID 19 sekarang ini, maka semua peserta didik wajib memiliki well-being yang baik. Well-being adalah kondisi mental dan emosi yang relatif konsisten, memiliki beberapa ciri berikut ini: (1) perasaan dan sikap positif; (2) hubungan positif dengan orang lain di lingkungan sekolah; (3) daya lenting; (4) pengembangan potensi diri secara optimal; dan (5) tingkat kepuasan yang tinggi terhadap pengalaman belajar”, dikutip dari Weilin Han (2020) dalam artikelnya berjudul “Membangun Pola Pikir Positif dan Relasi Positif sebagai Kekuatan Kerangka Well-being”.
Kerangka kepositifan (keadaan emosi positif yang berkelanjutan sebagai dampak dari penerapan pola pikir yang positif saat berhadapan dengan berbagai situasi yang dihadapi siswa selama bersekolah) dibangun dari kekutan emosi positif (emosi yang membangun dan menunjang siswa dalam beraktivitas) dan pola pikir positif (pola pikir konstruktif yang dipakai untuk mempertahankan kondisi emosi yang positif).
Melalui kerangka well-being ini kebiasaan berpikir negatif yang sangat menguasai (80%) umat manusia dan berpengaruh para perilakunya sekarang ini dapat dirubah menjadi kebiasaan berpikir positif yang pada gilirannya berdampak pada perilaku positif pula.
Tantangan perubahan pola pikir (mindset) masa pandemic COVID 19, seperti sikap mental nyaman dengan ketidaknyamanan, sikap kemauan untuk belajar, orientasi utama kepada murid, dan menurunnya kecemasan terhadap teknologi dapat dipertahankan untuk dilakukan.
Sebuah ilustrasi membangun kerangka well-being (kepositifan dan relasi yang positif) pada mahasiswa terhadap wabah COVID 19, penulis lakukan dengan menanyakan mellui angket secara online kepada 150 mahasiswa/i mengenai ketrampilan baru apa-apa saja yang terbentuk pada diri mereka sejak pandemic. Datanya sangat mengejutkan penulis, setidaknya setiap mahasiswa menuliskan setidaknya 3 (tiga) kebiasaan baru bersifat positif terbentuk sebagai respons dari wabah corona selama ini, seperti hidup lebih efesien dari sebelumnya, lebih peduli terhadap pola hidup bersih dan sehat. Kehidupan dengan kebiasaan baru bersifat positif seperti ini harus dipertahankan, bahkan dikembangkan.
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, selain pola pikir positif, well-being juga terkait dengan relasi positif. Relasi atau hubungan positif adalah pola interaksi social antara siswa dengan siswa lain, guru dan staf sekoah yang didasari oleh nilai –nilai prososial (Weilin Han, 2020).
Beberapa asumsi menjelaskan pentingnya relasi positif guna meningkatkan kecerdasan emosi anak, diantaranya: (1) perasaan positif yang dirasakan siswa bersumber dari rasa terhubung atau terkoneksi dengan berbagai kalangan di sekolah, muncul perasaan nyaman dan diterima di sekolah; (2) mengikuti berbagai kegiatan ekstrakurikuler dan kegiatan keorgnisasian siswa lainnya; (3) lingkungan fisik seperti ruang hijau, fasilitas; dan (4) status dan prestasi sekolah menimbulkan rasa bangga pada diri siswa.
Guna mengefektifkan hubungan sosial emosional di kalangan warga sekolah, maka pihak sekolah perlu melakukan pemetaan hubungan (mapping relationship) warga sekolah, guna mengetahui sejauhmana hubungan social dan emosional di kalangan warga sekolah, seperti hubungan sosial emosional antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, kepala sekolah dengan guru. Banyak riset membuktikan bahwa, hubungan social emosional diantara warga sekolah berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar peserta didik.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa kekuatan kerangka Student Well-being dapat dibentuk melalui sejauhmana pihak sekolah membangun pola pikir positif dan relasi positif di kalangan warga sekolah.
Mengingat pentingnya Student Well-being ini, pemerintah mengharuskan materi Student Well-being menjadi materi yang harus dipahami oleh calon kepala sekolah sebelum mereka diangkat menjadi kepada sekolah sebagaimana terdapat pada Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Kemendikbud RI, No. 3813/B.B1/HK/2020.
Terkait dengan Student Well-being, bapak Nadiem Anwar Makarim selaku Mendikbud RI menghimbau guru mulai melakukan perubahan kecil dari ruang kelas, ajaklah kelas berdiskusi bukan hanya mendengar, berikan kesempatan kepada murid untuk mengajar di kelas. Cetuskan proyek bakti sosial yang melibatkan seluruh kelas. Temukan bakat dalam diri murid yang kurang percaya diri. Tawarkan bantuan kepada guru yang mengalami kesulitan mengajar. Apapun perubahan kecil itu, jika setiap guru melakukannya secara serentak, kapal besar bernama Indonesia ini pasti akan bergerak”, dikutip dari Tempo, 8 Nopember 2020 (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]