Tahun Baru, Kebiasaan Baru
TAHUN baru harus dimaknai sebagai kebiasaan dan kehidupan baru yaang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya agar digolongkan sebagai manusia beruntung. Jika datangnya tahun baru, namun tidak diikuti perubahan kebiasaan atau tetap saja kebiasaan dalam hidupnya seperti waktu-waktu sebelumnya, maka ia digolongkan sebagai manusia merugi, dan jika tahun baru kebiasaan atau perilakunya lebih buruk dari tahun-tahun sebelumnya, berarti ia dalam laknat Allah SWT.Silakan pembaca, gunakan sedikit waktu untuk melihat ke dalam diri masing-masing, di golongan mana kita berada sekarang ini: beruntung, rugi atau dalam laknatNya.
Pengalaman menjalani kehidupan selama lebih 2 (dua) tahun terakhir di masa pandemi Covid 19 ini menyimpan harapan agar di tahun baru ini kebiasaan dan kehidupan kita mengalami perubahan yang lebih baik dari tahun sebelumnya, tentu saja kita tidak mau merugi, terlebih lagi sangat tidak mau terlaknat.
Kualitas hidup kita seringkali tergantung pada kualitas kebiasaan kita. Oleh karena itu, tahun baru dengan kebiasaan baru merupakan sesuatu keniscayaan yang sangat baik dan mulia. Jika dipersiapkan dengan baik dan dijalani dengan sungguh-sungguh, harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik (beruntung) tersebut Insyaa Allah dapat terwujud.
Disadari, mewujudkan harapan tersebut bukanlah persoalan yang mudah. Kesulitan tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, baik faktor yang berasal dari luar maupun faktor yang berasal dari dalam diri seseorang terutama kurangnya tekad untuk memperbaiki kebiasaan buruk, demikian Wendy Wood (2020) dalam bukunya “Good Habits, Bad Habits”.
Sebelum memasuki tahun baru, semestinya kita melakukan introspeksi (muhasabah) dimana saja kita berada untuk mengetahui apakah kita mengalami perubahan atau tidak dalam hidup dan kehidupan selama ini?.
Efektivitas introspeksi (muhasabah) yang dilakukan sangat tergantung pada kejujuran kita melihat diri sendiri, pemahaman kita mengenai makna dan cara kerja sebuah kebiasaan itu.
Wendy Wood (2020) seorang pakar kebiasaan mengatakan bahwa memahami kebiasaan manusia tidaklah mudah karena tidak semua perilaku manusia digolongkan sebagai sebuah kebiasaan. Apa yang diyakini sebagai sebuah kebiasaan, ternyata bukan, demikian sebaliknya. Ia mengatakan bahwa kebiasaan adalah perilaku yang berulang, dilakukan secara otomatis tanpa arahan yang sadar. Kebiasaan merujuk ke “bagaimana” melaksanakan aksi, bukan “apa” aksi yang dilakukan.
James Clear (2020) dalam bukunya “Atomic Habits” menyatakan bahwa “Kebiasaan adalah rutinitas atau perilaku yang dijalankan secara teratur dan dalam banyak kasus secara otomatis”.
Dari banyak riset yang telah dilakukan, para ahli sependapat bahwa “sebagian besar hidup dan kehidupan ini diatur atau dikendalikan oleh kebiasaan.
Bersumber dari riset yang mendalam, Wendy Wood (2020) mengutip bahwa “43% dari keseluruhan kita adalah kebiasaan tanpa pengaruh pikiran sadar dan kepribadian”.
Selanjutnya, Charles Duhigg (2014) dalam bukunya “The Power of Habit” mengutip hasil penelitian seorang peneliti Duke University pada tahun 2006 menemukan bahwa “40% lebih tindakan yang dilakukan orang setiap hari bukanlah keputusan sungguhan melainkan kebiasaan”.
William James dalam bukunya “The Principles of Psychology” mengatakan “Andaikan kaum muda menyadari seberapa cepat mereka akan menjadi makhluk yang dikendalikan kebiasaan, mereka akan lebih memperhatikan tingkah laku mereka sewaktu masih dalam kondisi lentur. Kita membentuk takdir kita sendiri, baik atau buruk yang tidak akan bisa diputarbalikkan”.
Nasehat senada disampaikan oleh Mahatma Ghandi, seorang pemimpin moral sejati mengatakan, “Perhatikan perbuatanmu, karena ia akan menjadi kebiasaanmu. Perhatikan kebiasaanmu, karena ia akan menjadi karaktermu”.
Joyce Divinyi (2003) dalam bukunya “Discipline Your Kids” mengatakan hal senada bahwa “otak membutuhkan pengulangan untuk membuat tingkah laku tertentu menjadi kebiasaan”. Sebuah mitos yang bersumber dari Maxwell Maltz (2000) penulis buku “PsychoCybernetic” mengatakan, “kebiasaan baru dapat dibentuk melalui pengulangan suatu aksi baru berulang-ulang dengan pengendalian diri. Semakin sering aksi tersebut diulang, maka semakin besar peluangnya untuk sesuatu menjadi otomatis dan durasi waktu digunakan bervariasi sesuai proses kognisi yang menggerakkan aksi tersebut”.
Para pakar neurofisiologi menyimpulkan temuan mereka, bahwa otak mempunyai kemampuan yang menakjubkan untuk menerima pikiran atau perilaku yang berulang-ulang dan menyambungkannya ke pola-pola atau kebiasaan-kebiasaan yang otomatis dan di bawah sadar. Semakin sering mengulangi pikiran dan tindakan yang konstruktif, pikiran atau tindakan itu akan menjadi semakin dalam, semakin cepat, dan semakin otomatis”, demikian dikutip dari Paul G. Stoltz (2000) dalam bukunya berjudul “Adversity Quotient”.
Pertanyaan yang sering disampaikan kepada penulis mengenai pembentukan kebiasaan baru berkualitas, diantaranya: dari mana memulainya dan bagaimana melakukannya?.
Menjawab dua pentanyaan penting tersebut, penulis kutip pendapat para ahli, diantaranya: James Clear (2020) mengatakan “satu-satunya cara yang ia lakukan dalam pembentukan kebiasaan baru berkualitas adalah memulainya dengan hal kecil”. Sedangkan Wendy Wood (2020) menegaskan “pembentukan kebiasaan baru berkualitas dimulai dari tekad yang kuat”.
Selanjutnya, bagaimana melakukannya?. Para psikolog menjawab pertanyaan tersebut melalui sebuah konfrensi internasional di Fransisco University membahas satu tema “Merubah Kebiasaan Buruk”. Konfrensi tersebut menghasilkan sebuah rekomendasi, bahwa merubah kebiasaan buruk itu mudah selama menjalankan tiga unsur penting berikut ini: (1) komitmen, artinya janji atau niat suci dan tulus kepada diri sendiri dan tekad yang kuat untuk melakukan aksi, akan lebih baik jika komitmen tersebut dituliskan, dan setiap waktu diucapkan. Ketika seseorang telah berkomitmen terhadap sesuatu, maka ia tidak akan lekang karena panas dan tidak akan lapuk karena hujan, ia tetap kokoh sekokoh batu karang meskipun tinggal sendirian, ia tidak merasa tinggi karena pujian dan tidak merasa rendah karena penghinaan; (2) modifikasi lingkungan, Kazuo Murakami (2007) dalam bukunya “The Divine Message of DNA” menjelaskan bahwa kita memiliki mekanisme “on-of”, seperti saklar. Perilaku dan kebiasaan dapat berubah atau bermutasi karena ia berinteraksi dengan lingkungan dimana seseorang berada. Oleh karena itu, lingkungan, baik fisik maupun lingkungan non fisik harus dimodifikasi dengan baik sesuai komitmen yang telah ditanamkan dalam hati. Selain itu, mutasi kebiasaan dipicu oleh sikap mental, perasaan atau emosi dan pikiran positif, antusiasme, kebahagiaan, keceriaan dan keadaan psikologi lainnya. Namun sayangnya, sebanyak 80% setiap harinya pikiran kita pada umumnya negatif, dan kita dikendalikan oleh pikiran negatif tersebut, demikian Ibrahim Elfiky dalam bukunya “Pikiran Positif”; (3) monitoring dan evaluasi (monev) perubahan perilaku dan kebiasaan yang diinginkan atau direncanakan. Akan lebih efektif, jika monev tersebut dilakukan secara formatif disertai tindak lanjut dan dilakukan secara berkelanjutan. Semakin cepat monev itu dilakukan, maka akan semakin baik proses dan hasil perubahan perilaku dan kebiasaan seseorang. Orang bijak mengatakan, “setiap kesalahan atau kegagalan dikoreksi atau diperbaiki berarti sebuah kemajuan”. Secara jujur harus diakui, selama ini kita telah lalai melakukan monitoring dan evaluasi secara efektif dari sebuah program perubahan perilaku atau kebiasaan, monitoring dan evaluasi lebih sering dilakukan secara sumatif di setiap tahun sehingga sulit terjadi perubahan.
Terkait pembentukan kebiasaan baru ini, Wendy Wood (2020) menegaskan bahwa kebiasaan baru berdiri tegak di atas pondasi dasar pembentukan kebiasaan, yakni: (1) konteks; (2) perulangan; dan (3) imbalan.
Konteks, merujuk ke segala sesuatu di dunia sekitar kita: lokasi tempat kita berada, orang yang ada bersama kita, waktu yang kita gunakan, bahkan aksi yang baru saja kita lakukan.
Perulangan, semakin sering aksi atau perilaku diulang, maka semakin besar peluangnya untuk menjadi kebiasaan. Aristoteles seorang filosof pernah mengatakan, “Kita adalah apa yang berulang kali kita kerjakan”.
Imbalan, adalah cara yang baik untuk mengukur seberapa kuat kebiasaan telah terbentuk. Dapat diketahui ketika imbalan berubah. Jika aksi tersebut tetap dijalankan, sekalipun tidak lagi memperdulikan imbalan berarti aksi tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan
oleh
Dr Aswandi Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]