Tujuan Sama, Cara Beda
SECARA sadar dan sengaja di awal opini ini, penulis tegaskan bahwa yang dimaksud tujuan atau visi adalah tujuan atau visi yang baik dan benar. Sedangkan yang dimaksud cara adalah cara yang beradab dan bermartabat. Mengapa hal tersebut dari sejak awal opini ini penulis tegaskan?. Dalam kehidupan ini banyak ditemui, tujuan baik, namun dilakukan dengan cara kurang baik dan bahkan dilakukan secara tidak benar. Sebaliknya, tujuan kurang baik, namun dilakukan secara benar sebagaimana dijelaskan oleh Walters (2005) dalam bukunya “The Truth about Lying”
“The Truth about Lying” atau “Kebenaran tentang Kebohongan” bahwa “Suatu kebohongan selalu dilakukan berdasarkan pilihan, bukan karena kebetulan”. Ia mengingatkan bahwa “Anda tidak bisa menghentikan seseorang berbohong kepada Anda, tetapi Anda bisa menghindari menjadi korban kebohongannya. Dan satu-satunya faktor kunci yang dapat Anda kendalikan adalah peluang berbohong orang lain, diantaranya tidak memberi tahu kepadanya secara khusus mengenai tanda-tanda atau gejala tindakan yang menguak kebohongan mereka”.
Kembali pada judul opini “Tujuan Sama, Cara Beda”, penulis sampaikan sebuah kisah imajiner, yakni seorang pecandu narkoba ditanya, “Mengapa ia dilarang mengkonsumsi narkoba?”. Bukankah melalui zat adiktif tersebut ia diperoleh ketenangan dan/atau kebahagiaan. Si pecandu narkoba melanjutkan pertanyaan yang ditujukan kepada pihak berwenang, “Mengapa Anda bekerja keras siang dan malam?”. Dijawab, “Kami lakukan kerja keras tersebut untuk mendapatkan uang yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga kami agar hidup kami merasa tenang dan berbahagia”. Mendengar jawaban tersebut, si pecandu mengatakan, “Jika demikian berarti tujuan kita sama, hanya cara kita mengusahakannya yang berbeda”. Kisah imajiner pecandu narkoba di atas menggambarkan tujuan benar (memperoleh kebahagiaan), namun diusahakan dengan cara yang salah (mengkonsumsi narkoba).
Kasus yang hampir sama dikatakan John Naisbitt (2000) dalam bukunya “Megatrend”, ia menggambarkan perilaku masyarakat modern dengan sebuah istilah yang sangat popular, “Spritual Yes, Religion No”, maknanya adalah semua orang ingin mencapai tujuan yang sama yakni kepuasan spiritual melalui jalan agama yang berbeda, termasuk mengusahakannya melalui berbagai agama baru (new age) yang mereka ciptakan sendiri.
John Naisbitt (2007) dalam bukunya “Mindset” menegaskan bahwa “Meski banyak hal berubah, kebanyakan hal tetap konstan/tetap atau tidak berubah”. Sejak ratusan tahun lalu hingga sekarang ini, semua usaha jual-beli bertujuan yang sama, yakni memperoleh keuntungan. Namun dari hari ke hari pelaku perniagaan tersebut berinovasi (melakukan hal berbeda) agar usaha mereka bertahan hidup atau tetap berlanjut. Ia mengatakan, “Kebanyakan perubahan bukan terletak pada apa yang kita lakukan, melainkan pada bagaimana cara kita melakukannya, semakin kita mampu membedakan mana yang konstan (tetap) dan mana yang berubah, maka kita akan semakin mampu bereaksi secara efektif terhadap pasar baru dan memetik keuntungan dari perubahan itu”.
Dicontohkan, suatu pertandingan bola basket di Madison Aquare Garden New York City, dihadiri 17.500 penonton, melebihi kapasitas tempat duduk penonton. Penonton datang bukan semata-mata untuk mengetahui tim basket mana yang menjadi pemenang dan/atau tidak sebatas ingin menyaksikan sebuah pertandingan semata, melainkan ingin melihat Hank Luisetti seorang pemain bintang yang memiliki gaya permainan beda dari gaya para pemain lainnya, misalnya bagaimana Luisetti menembakkan bola dengan satu tangan melayang di udara, sekali-kali sambil terbang yang merupakan gaya permainan yang beda dari banyak pemain basket lainnya yang cendrung gaya bermainnya monoton. Kemudian setelah ia wafat, gaya bermainnya dikembangkan atau dipercantik oleh pemain lainnya seperti Michael Jordan, seorang olahragawan terkaya saat ini.
Kisah yang sama, di babak final bulu tangkis, berhadapan dua tim berasal dari satu negara (Jepang vs Jepang dan China vs China), meskipun harga tiket masuk terhitung mahal, namun ribuan penonton hadir menyaksikan pertandingan tersebut. Mereka duduk bukan sebatas untuk mendapatkan kepuasan primordialisme rasnya, melainkan ingin menikmati indahnya sebuah permainan yang berbeda dari pertandingan final lainnya.
Kasus lain, setibanya di terminal Bandara Soekarno Hatta, banyak orang yang akan melanjutkan perjalanannya rela antri taxi Blue Bird, padahal tidak sedikit taxi lain menawarkan jasanya, namun tetap saja calon penumpang siap antri, Pilihan sarana transfortasi tidak mengalami berubah, harus naik blue bird taxi. Mereka memilih taxi Blue Bird bukan atas pertimbangan mencapai tujuan semata, melainkan lebih dari itu, yakni selamat sampai ditujuan dengan aman dan nyaman.
Fenomena lain, tidak sedikit Rumah Sakit di Indonesia yang terakreditasi baik, namun sebagian masyarakat Indonesia tetap memilih berobat di Serawak (sebuah kota kecil di negara Malaysia). Mereka berobat ke Serawak untuk tujuan yang sama (secepatnya sembuh), dan mendapat pelayanan yang berbeda.
Uraian di atas menjelaskan bahwa dalam hidup dan kehidupan ini tujuan boleh sama, namun cara mencapai tujuan tersebut boleh beda sebagaimana pribahasa lama mengatakan, “Tidak ada satu jalan menuju Roma”. Ingatlah bahwa harga sebuah pelayanan aman dan menyenangkan tidak selalu lebih murah dari harga sebuah produk. Namun sayangnya, kesadaran kita tentang penting dan berharganya sebuah pelayanan tersebut masih sangat kurang. Faktanya, gencar-genjarnya melakukan inovasi product, namun kurang genjar melakukan inovasi pelayanan.
Selanjutnya penulis tegaskan bahwa kekuatan suatu organisasi ditentukan dari kemampuannya menghargai keberagaman (diversity). Kemajuan suatu bangsa karena penduduknya merasa hidup nyaman dalam keberagaman. Jika asumsi tersebut benar, maka rakyat Indonesia yang telah merdeka lebih dari 75 tahun ini dan menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” semestinya sudah lama menikmati nikmatnya kemerdekaan. Namun kenyataannya tidak demikian, yang terjadi justru rakyat di negeri ini masih banyak yang mengalami penderitaan. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa dari sejak dahulu hingga sekarang ini ada sesuatu yang salah dalam berbangsa dan bernegara, satu diantara kesalahan kita adalah “Merasa Belum Nyaman Hidup dalam Keberagaman”, boleh jadi “Bhinneka Tunggal Ika” yang kita gaung-gaungkan selama ini berpenyakit, yakni hanya manis dalam ucapan, namun pahit dalam perbuatan/tindakan.
Di masa-masa yang akan datang, dimana digital culture, antara lain ditandai sistem: sentralisasi dan otomatisasi serta perilaku politik sebagai petugas patrai mengelola keberagaman (diversity) ini menjadi sesuatu yang sangat penting, namun tidak mudah untuk dilaksanakan. Daniela Eberhardt (2016) dalam sebuah laporan risetnya “The Future of Leadership: An Explorative Study into Tomorrow’s Leadership Challenges” menyimpulkan “The future of leadership depends on connecting people in different ways, in order to expand the collective area of thought and action”. Diversity of Leadership ini, secara nyata adalah tantangan kepemimpinan masa depan (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]



