TWK-KPK: Atas Nama Pancasila?
Polemik tes wawasan kebangsaan (TWK) di KPK masih terus berlanjut, sebanyak 75 pegawai KPK dinyatakan tidak lolos menjadi Aparatur Sipil Negara dengan alasan tidak Pancasilais dan sebanyak 51 pegawai dinyatakan tidak bisa lagi dibina karena memiliki nilai merah.
Oleh publik, alasan ini dianggap mengada-ada karena banyak di antara pegawai ini terlibat mengusut tindak pidana korupsi kelas “kakap”. Termasuk di dalamnya ada Direktur Sosialisasi dan Kampanye Antikorupsi KPK Giri Suprapdiono yang menjadi salah satu pegawai yang tidak lolos TWK. Padahal, Giri adalah pengajar dan sering menjadi narasumber tentang wawasan kebangsaan dan antikorupsi di berbagai institusi. Di antaranya di Sekolah Komando Angkatan Darat (Seskoad), Sekolah Pimpinan (Sespim) Polri, serta di Badan Intelijen Negara (BIN), dan Institut Teknologi Bandung (ITB).
Untuk mengulas hal ini, mari kita bersama menarik mundur di tahun 2019, ketika terjadi unjuk rasa di berbagai daerah terkait upaya Revisi KUHP dan isu “Pelemahan KPK”; selanjutnya pada isu proses pemilihan Komisioner KPK periode 2019-2023 yang penuh dengan protes dari berbagai kalangan baik eksternal dan internal KPK itu sendiri; juga ada kasus penyerangan terhadap Novel Baswedan yang sampai sekarang belum “tuntas” mengenai aktor intelektualnya.
Dari berbagai kejadian tersebut dan dikaitkan dengan isu TWK KPK, asumsi publik bermuara kepada suatu hipotesa sederhana bahwa “usaha untuk melemahkan lembaga anti korupsi akan dan selalu terus ada”. Maka pertanyaan pertama adalah mengapa KPK selalu terus mendapat usaha pelemahan? Usaha tersebut menjadi “wajar” oleh karena sejauh ini eksistensi KPK cukup berhasil memberantas korupsi dari berbagai lapisan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif; baik tingkat pusat maupun daerah. Rekam jejak itulah yang menyebabkan tidak mengherankan kehadiran KPK cukup banyak memberikan rasa “kekhawatiran”.
Dari berbagai pertanyaan “kontroversial” yang telah beredar di media, menurut hemat penulis pertanyaan tersebut tidak mencerminkan sisi “wawasan kebangsaan”. Hal yang perlu untuk kita kritisi bersama adalah bahwa jawaban seperti apa yang diharapkan atau dianggap benar untuk dapat lulus dari TWK KPK tersebut. Dalam hal ini, apabila dari sisi pertanyaan saja sudah “salah soal”, maka hasil jawaban apapun dari pertanyaan tersebut menjadi tidak relevan sama sekali. Apabila ingin mewujudkan asas transparansi dan akuntabilitas dari hasil TWK KPK kemarin, maka akan lebih baik jika pembuat soal membuka “kunci jawaban” pertanyaan tersebut kepada publik untuk dinilai. Hal itu perlu dilakukan agar menekan asumsi masyarakat bahwa TWK yang dilakukan di KPK itu tidak berdasarkan “like and dislike”.
Tes penjaringan dengan tafsir sepihak semacam ini pernah dilakukan di era Orde Baru. Atas nama Pancasila, rezim Orde Baru menjadikan Pancasila sebagai ideologi pengukur kelakuan seseorang, bukan sebagai panduan bernegara.
Pancasila seharusnya tidak dimaksudkan sebagai sebuah ideologi untuk menakar tingkah laku seseorang, tetapi harus diletakkan sebagai sebuah guidance, ideal, dan cita-cita. Kita tidak bisa menilai seseorang hanya berdasarkan sebuah guidance dan lantas dapat lansgung mencabut hak seseorang tersebut. Meskipun demikian, memang hal ini tidak bisa dihindarkan, sebab Pancasila merupakan ideologi terbuka yang tafsirnya bisa lentur, sehingga dapat diinterpretasikan siapa saja, termasuk pihak yang berkuasa.
Pada poin inilah yang menjadi hal yang berbahaya untuk menggunakan sesuatu yang tafsirnya terbuka ini, untuk menjadi sebuah alat tes untuk menilai seseorang. Tindakan ini menurut penulis jelas merupakan sebuah abuse of power.
Lantas, bagaimana seharusnya Pancasila diposisikan? sebaiknya kita tidak dengan mudahnya menggunakan Pancasila untuk melabel seseorang. Karena ukuran “siapa Pancasia” dan “siapa tidak Pancasila” itu tidak ada ukuran yang pasti. Tidak ada seseorang di Indonesia yang dapat mengkalim dirinya paling Pancasilais.
Pada saat Pancasila digali oleh para Pendiri Bangsa saat dulu, ia lebih difungsikan dalam fungsi implisitnya. Hal itulah yang menjadi alasan mengapa Pancasila diletakkan sebagai sebuah grundnorm, norma dasar, dan filosofi bangsa. Pancasila itu mempunyai fungsi implisit sebagai sarana untuk merekatkan bangsa Indonesia. Apabila kita ingin memahami Pancasila seperti cara pendekatan yang dilakukan oleh para Pendiri Bangsa kita, maka kita harus lebih mengedepankan fungsi implisitnya, yakni justru untuk menyatukan berbagai perbedaan pandangan.
Sebaliknya, jangan menggunakan Pancasila untuk keperluan politik yang bersifat eksplisit. Pertama, tindakan seperti itu justru akan mendegradasikan Pancasila itu sendiri. Kedua, kita sama-sama sudah belajar dari sejarah Orde Baru, jika Pancasila terlalu sering digunakan dalam fungsi eksplisitnya, maka akan muncul kecenderungan totalisasi sepihak. Lenturnya tafsir Pancasila seharusnya digunakan untuk merangkul, bukan sebagai ajang untuk memukul.
Oleh : Muhammad Rafi Darajati (Pengajar Fakultas Hukum Universitas Tanjungpura)
[learn_press_profile]
Tag:informasi, mahasiswa, penelitian, untan



