Urgensi Keberadaan Influencer
INFLUENCER adalah seseorang yang mempunyai pengaruh terhadap keputusan audient. Joseph Grenny, Kerry Patterson, David Maxfield, Ron McMillan dan Al Switzler (2013) dalam bukunya berjudul “Influencer” mengatakan bahwa influencer adalah seseorang yang dengan kemampuannya membuat perubahan dalam perilaku manusia. Influencer ada yang berasal dari figur publik, tokoh masyarakat atau opinion leader, akademisi, musikus atau seniman, atlit, bahkan politikus, namun tidak semua. Karakteristik seorang influencer adalah seberapa jauh mereka dapat relatif sering mempengaruhi sikap dan tindakan nyata orang lain ke arah yang diinginkan.
John C. Maxwell dan Jim Dornan (1987) dalam bukunya “Becoming a Person of Influence” mengemukakan beberapa karakteristik pada influencer, antara lain: jujur, mau mendengar, memahami orang lain, berhubungan baik dengan orang lain. Mereka sering digunakan oleh perusahaan dan/atau pemerintah untuk menginformasikan program kerja dan mempromosikan sebuah produk, merek, atau gaya hidup tertentu sesuai target audient. Everett M. Rogers (2003) dalam bukunya berjudul “Diffusion of Innovation” menyatakan bahwa “Dalam sistem difusi terpusat (centered diffusion system), agen perubahan menggunakan jasa para influencer (opinion leaders) untuk mempengaruhi para adopter yang akan mengadopsi suatu inovasi”. Kampanye difusi cendrung berhasil bila agen pembaharu mengenal, menggerakkan dan memanfaatkan secara efektif para influencer tersebut. Asumsi teoretik menegaskan bahwa “Keberhasilan agen pembaharu dalam pengadopsian inovasi berhubungan positif dengan seberapa luas dan banyaknya ia bekerjasama dengan para influencer”.
Kecepatan adopsi meningkat, efektifitas dan efisiensi usaha diperoleh karena menggunkan influencer. Ketika influencer dalam suatu sistem sosial mengadopsi suatu inovasi, sepertinya tidak mungkin menyetop penyebarannya lebih lanjut. Sangat masuk akal karena influencer mempunyai pengikut, sementara inovator hanya orang yang pertama kali mengadopsi inovasi dan jumlahnya sangat terbatas, yakni sebesar 2,5% dari komunitasnya. Fadjroel Rachman selaku juru bicara presiden menilai bahwa “Keberadaan influencer adalah keniscayaan dari transformasi digital, ia merupakan ujung tombak demokrasi digital”, dikutip dari RMOL, 2 September 2020. Akhir-akhir ini, keberadaan para influencer di lingkungan istana dipertanyakan: siapa dan dari mana saja mereka berasal, apa yang mereka kerjakan dan mereka mendapat bayaran dari kegiatannya, dan dari mana sumber pembiayaannya. Barangkali kekhawatiran atas keberadaan mereka sebagai pembisik sebagaimana pernah terjadi di masa lalu. Pengamat mengatakan, bahwa melibatkan influencer dalam menginformasikan kebijakan pemerintah kurang efesien, dan tugas influencer bisa dilakukan oleh juru bicara presiden.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan, pemerintah menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk membayar jasa influencer tersebut, dikutip dari Tempo, 6 September 2020. Para infuencer itu ada di sekitar kita dan apa yang mereka ketahui serta lakukan bisa dipelajari, namun umumnya kita malas mencarinya karena telah tersandra oleh politik balas budi (transaksional). Penelitian mendalam dilakukan, mereka membaca 17.000 artikel dan buku untuk menemukan berbagai aspek dari influencer: (1) melacak individu-individu yang telah sukses membuat perubahan besar atau perubahan luar biasa yang belum pernah terjadi sebelumnya di berbagai bidang kehidupan, seperti bidang kesehatan (Donald Hopkins seorang influencer berhasil memusnahkan penyakit mengerikan dari muka bumi tanpa menggunakan obat), bidang pendidikan (Pasangan David Levin dan Mike Feinberg berhasil mengantar puluhan ribu siswa dari keluarga kurang mampu secara ekonomi sukses studinya), penulis tambahkan barangkali bapak Nadiem Anwar Makarim dapat digolongkan sebagai seorang influencer karena sebelum menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, beliau mampu berinovasi melalui transfortasi berbasis aplikasi; (2) mengidentifikasi mereka dengan cermat memeriksa pekerjaan mereka untuk mencari kesamaannya. Ditemukan terdapat tiga kunci yang dipegang oleh para influencer untuk sukses mempengaruhi orang lain, diyakini mampu mengubah hampir semua perilaku manusia serta mempertahankan perubahan itu selama bertahun-tahun, Tiga kunci tersebut: (1) berfokus dan terukur; (2) menemukan perilaku vital; dan (3) menyatukan enam sumber pengaruh, meliputi: motivasi dan kemampuan individu (apakah mereka menikmatinya dan bisakah mereka melakukannya), motivasi dan kemampuan sosial (apakah orang lain mendorong mereka menerapkan perilaku yang salah dan apakah orang lain mendorong mereka), motivasi dan kemampuan structural (apakah penghargaan dan sanksi bisa mendorong mereka dan apakah lingkungan mendukung mereka). Sebaliknya mereka yang gagal memberi pengaruh (tidak mampu menjadi seorang influencer) akibat dari bekerja dengan tujuan yang tidak jelas, tidak menarik, tidak terukur dan pengukuran yang keliru, dikutip dari Joseph Grenny, Kerry Patterson, David Maxfield, Ron McMillan dan Al Switzler (2013). Kevin Hogan (2007) dalam buunya “The Science of Influence” menegaskan bahwa “Banyak orang tidak tahu apa yang mereka inginkan dan tidak tahu apa yang akan mereka rasakan setelah mereka memperolehnya”. Hal tersebut adalah satu alasan mereka sulit atau tidak mudah berubah. Oleh karena itu tujuan yang jelas dengan target yang terukur harus diperhatikan karena berdampak besar pada perubahan perilaku yang melibatkan lebih dari sekedar pikiran, melainkan juga perasaan, demikian John Kotter (2010) dalam bukunya “The Heart of Change”.
Penelitian membuktikan bahwa “bekerja dengan tujuan yang jelas, menarik dan menantang memompa darah lebih cepat, meransang pikiran dan menguatkan otot. Namun jika tujuannya samar, dampak semacam itu tidak muncul”. Setelah bekerja dengan tujuan yang jelas dan terukur, para influencer menemukan perilaku vital yang membuat perbedaan besar, biasanya satu atau dua perilaku vital, misalnya kerja keras dan bertanggung jawab. Jika perilaku vital tersebut disikapi dengan baik akan menghasilkan perbedaan besar. Singkat kata, setiap orang bisa menjadi seorang influencer yang efektif jika mau bersinergis melakukan perubahan dengan mengumpulkan sumber pengaruh yang cukup agar perubahan tidak terhentikan. Bagi penulis, tidak masalah siapa dan dari mana mereka berasal, yang utama adalah keberadaan influencer di seputar kekuasaan (istana) di negeri ini benarbenar urgen atau diperlukan, direkrut melalui mekanisme secara terbuka (tidak sembunyi-sembunyi) dan professional, menunjukkan karya inovatif yang luar biasa sehingga tampak berbeda dari sebelumnya dan memberi dampak bagi kemajuan bangsa. Jika keberadaannya tidak berbeda dan berdampak, maka tidak ada salahnya jika banyak orang mempertanyakan keberadaannya di lingkaran puncak kekuasaan (istana) negeri ini, terlebih lagi keberadaan mereka bukan sebagai relawan atau volunter yang gratis, melainkan bekerja untuk mencari nafkah dan jelas pertanggung jawaban sumber pembiayaannya (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]
Tag:dosen fkip, dr aswandi, Influencer, informasi, mahasiswa, pakar, penelitian, rektor, untan