Covid 19: Indonesia, New Normal, dan Sebuah Pembelajaran
Sudah lebih dari tiga bulan Indonesia berfokus di dalam menangani pandemi Covid-19. Dampak yang ditimbulkan dari pandemi ini sangat terasa di berbagai sektor. Dalam perspektif kesehatan misalnya, tercatat sampai dengan 28 Mei 2020, telah 24.538 orang yang terkonfirmasi positif Covid-19, dengan angka kematian mencapai 1.496 orang. Dari sisi ekonomi pun juga terasa, pertumbuhan ekonomi melambat menjadi 2,97% pada bulan April 2020, sangat jauh apabila membandingkan dengan kondisi pada bulan April 2019 yakni sebesar 4,97%. Hal tersebut berakibat terhadap naiknya tingkat pengangguran menjadi 7,8% atau 3,7 juta jiwa. Belum lagi jika menyinggung kehidupan sosial, dimana saat ini telah digaungkan mengenai bekerja dari rumah, belajar dari rumah, dan beribadah di rumah.
Covid-19 adalah sesuatu yang tidak pernah diperkirakan sebelumnya, dimana virus ini bisa berubah menjadi virus endemik di tengah masyarakat dan ada kemungkinan virus ini tidak akan musnah sepenuhnya. Merujuk pada keterangan dari Dale Fisher, Pejabat Jaringan Peringatan dan Respons Wabah Global WHO, dikatakan bahwa vaksin Covid-19 kemungkinan baru akan siap pada akhir tahun 2021.
Hal tersebut membuat dunia, termasuk Indonesia berada pada dalam posisi yang dilematis. Dua bulan pasca penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), Pemerintah Indonesia kini bersiap untuk memutar kembali roda ekonomi yang lesu sebagai dampak dari penerapan PSBB tersebut. Gelagat Pemerintah Indonesia untuk kembali memutar roda ekonomi terlihat pertama kali saat Presiden Joko Widodo mengungkapkan bahwa masyarakat Indonesia harus hidup berdamai dengan Covid-19 sampai ditemukannya vaksin yang efektif. Pernyataan tersebut kemudian diterjemahkan lebih lanjut menjadi sebuah istilah yang akhir-akhir ini sering menjadi pembicaraan banyak orang, yakni “New Normal” atau kenormalan baru.
Skenario kenormalan baru telah disiapkan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian dan direncanakan mulai berlaku sejak 1 Juni mendatang, dimana industri dan jasa sudah boleh beroperasi dengan mengikuti protokol kesehatan. Dalam rencana awal tersebut, terdapat lima fase kenormalan baru, yakni 1 Juni, 8 Juni, 15 Juni, 6 Juli, serta 20 Juli. Persiapan besar-besaran menuju era kenormalan baru ditandai dengan kunjungan Presiden Joko Widodo ke berbagai titik strategis untuk memantau persiapan kenormalan baru, satu hari pasca libur lebaran.
Kebijakan kenormalan baru ini, bagaikan buah simalakama. Di satu sisi, masyarakat akan rentan tertular virus jika protokol jaga jarak dilonggarkan. Di sisi lain, memaksa orang-orang untuk tetap tinggal di rumah juga akan berdampak berat pada ekonomi, sebagaimana data yang telah disampaikan di atas.
Dalam rangka mengkongkritkan fase kenormalan baru, Kementerian Kesehatan telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Panduan Pencegahan Dan Pengendalian Covid-19 Di Tempat Kerja Perkantoran Dan Industri. Surat Keputusan tersebut menjadi sebuah protokol di dalam menjalankan fase kenormalan baru, dimana pekerja diharapkan untuk menjaga jarak minimal dari rekan kerjanya ketika masuk kantor, para pekerja juga diimbau untuk mengenakan pakaian khusus kerja, pengukuran suhu menggunakan thermogun pada pintu masuk serta penggunaan masker sekarang merupakan sebuah kewajiban. Melengkapi aturan kenormalan baru tersebut, Pemerintah Indonesia juga akan menerjunkan ratusan ribu personel TNI-Polri ke sejumlah titik untuk memastikan bahwa masyarakat disiplin terhadap physical distancing.
Di atas kertas, segala daya upaya Pemerintah Indonesia dalam rangka menjalankan kenormalan baru terlihat meyakinkan. Akan tetapi pertanyaan kuncinya adalah apakah kita sudah siap menerapkan kenormalan baru ini?
Di dalam memasuki kenormalan baru ini, maka kita harus menemukan titik tengah kepentingan antara kesehatan dan ekonomi. Kesiapan tersebut dapat dijawab dengan menggunakan perspektif hukum, yang dalam hal ini berdasarkan teori sistem hukum yang dicetus oleh Friedman. Dimana agar tujuan hukum tersebut dapat tercapai adalah ketika sistem hukum yang terdiri dari struktur, substansi dan budaya hukum berjalan dengan maksimal. Struktur hukum mengacu pada bagaimana Pemerintah dan penegak hukum di dalam mengatur masyarakatnya, adapun subtansi hukum merupakan kumpulan norma hukum yang ada, serta budaya hukum sebagai sikap dari masyarakat terhadap hukum dalam menghadapi pandemi ini. Oleh karena itu, apabila ingin sukses di dalam menjalankan kenormalan baru, maka seluruh pemangku kepentingan serta masyarakat harus disiplin menjalankan protokol-protokol serta aturan yang telah dibuat.
Argumentasi tersebut selaras dengan pernyataan dari Tedros Adhanom Ghebreyesus, Direktur Jenderal WHO yang menyebutkan bahwa ada enam syarat yang harus dipenuhi apabila ingin melakukan pelonggaran pembatasan dalam kondisi seperti ini, yakni: negara tersebut harus mampu mengendalikan penularan penyakit; sistem layanan kesehatan di negara tersebut harus mampu mendeteksi, menguji, mengisolasi, dan melacak setiap kasus; resiko penyebaran di titik-titik episentrum dapat diminimalkan; sekolah, tempat kerja, serta tempat pengumpulan massa lainnya harus bisa menetapkan langkah-langkah pencegahan; pencegahan masuknya kasus dari luar negeri; dan sosialisasi yang maksimal kepada masyarakat di dalam menjalankan kenormalan baru.
Berdamai dengan Covid-19 bukan berarti menanggap bahwa ini merupakan sebuah penyakit biasa, nyatanya virus ini telah mempengaruhi hidup jutaan orang di dunia. Oleh karena vaksin masih membutuhkan waktu, yang bisa kita lakukan adalah mencegah penyebarannya. Pemerintah dalam hal ini harus lebih berhati-hati di dalam mencanangkan rencana kenormalan baru. Pelonggaran terhadap PSBB harus didasarkan pada bukti dan juga data bahwa pandemi tersebut telah membaik. Tanpa didukung tes massal yang mencukupi, penelusuran kontak, dan penanganan medis yang memadai, pelonggaran PSBB adalah pertaruhan yang amat beresiko.
Penulis
Muhammad Rafi Darajati
Dosen di Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura
[learn_press_profile]
Tag:covid-19, informasi, lintas pakar, mahasiswa, new normal, pakar untan, penelitian, rektor, untan

