Hak Menjadi Pemimpin
MENJADI pemimpin adalah hak semua orang atau kepemimpinan tidak dicanangkan untuk segelintir orang diantara kita. Keyakinan yang menyatakan bahwa “kepemimpinan hanya untuk kalangan terbatas adalah sebuah mitos (kebohongan yang dipercaya) yang paling merusak dari segala mitos kepemimpinan lainnya”, dikutip dari Kouzes & Posner (1999) dalam bukunya “The Leadership Challenge”.
John C. Maxwell (2003) dalam bukunya “The Right to Lead” menegaskan bahwa; “Hak menjadi pemimpin hanya dapat diupayakan, membutuhkan waktu dan perjuangan”. Bukan terjun bebas bermodalkan uang, retorika dan janji-janji, karena diyakini bahwa manusia itu sama saja dalam janji-janjinya, hanya dalam perbuatannya atau perjuangannyalah dia berbeda. Oleh karena itu, ketika kita harus memilih pemimpin, maka pilihlah pemimpin yang telah membuktikan hasil perjuangannya, bukan yang menabur janji-janjinya. Rakyat hanya percaya pada “Bukti” bukan “Janji”. Bukti dapat dilihat dari rekam jejaknya.
Dalam tarikh Islam sebagaimana ditulis oleh M. Husain Haekal (2001) dalam beberapa bukunya; “Muhammad Saw, Abu Bakar As-Siddiq, Umar bin Khattab, dan Usman bin Affan, serta buku karya Ali Audah (2003) berjudul “Ali bin Abi Talib” terdapat penjelasan yang sama bahwa mereka yang berhak menjadi pemimpin adalah mereka yang telah terbukti dan teruji perjuangannya.
Secara singkat diceritakan, setelah kepergian Rasulullah Saw, dilantik Abu Bakar As-Siddiq menjadi pemimpin. Penetapan Abu Bakar As-Siddiq Siddiq sebagai khalifah pertama, selain karena akhlaknya mulia, disukai, beliau sangat gigih berjuang menegakkan risalah bersama Rasulullah Saw.
Khalifah kedua, Abu Bakar menunjuk Umar sebagai pengantinya, padahal Rasulullah Saw tidak melakukannya. Abu Bakar sangat lama memikirkan dan mempertimbangkannya, dan akhirnya berkeyakinan bahwa Allah SWT telah membukakan jalan dan tanpa ragu itulah yang dipegangnya. Ia menunjuk Umar bin Khattab sebagai penggantinya setelah meminta pertimbangan Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Said bin Zaid, Usaid bin Hudair, dan Talhah bin Ubaidillah.
Sebelum meninggal, kaum Muslimin meminta Umar menunjuk pengantinya, seraya berpesan; “Kalaupun saya menunjuk seorang pengganti, maka yang akan mengantikan saya haruslah orang yang lebih baik dari saya,..”. Dalam suasana yang mengancam Arab dan kedaulatan yang baru tumbuh itu, maka jabatan khalifah dimusyawarahkan oleh Majelis Syuro, terdiri dari enam tokoh; Usman bin Affan, Ali bin Abi Talib, Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, Abdurrahman bin Auf, dan Sa’d bin Abi Waqqas. Singkat cerita setelah melalui perdebatan alot dan sengit, pendapat mengerucut kepada dua kandidat, yakni Ali dan Usman. Ali setuju jika Usman bin Affan, demikian pula Usman setuju jika Ali bin Abi Talib menjadi khalifah, Setelah melalui pertimbangan dari berbagai aspek yang sangat rumit, seperti jasa dan perjuangannya, maka akhirnya Usman bin Affan ditetapkan dan dibaiat menjadi khalifah ketiga.
Lima hari setelah kematian atau pembunuhan secara kejam terhadap Usman bin Affan, terjadi kekosongan pemimpin. Mayoritas kaum Muslimin di Madinah dan kota-kota besar lainnya memberikan pilihan atau kepercayaan kepada Ali bin Abi Talib menjadi pemimpin mereka karena jasa dan perjuangannya bersama khalifah sebelumnya dalam menegakkan dan melaksanakan risalah.
Hak menjadi pemimpin bagi pelopor atau pejuang terjadi pula pada diri George Washington, seorang pejuang lahirnya sebuah negera Amerika. Atas jasa dan perjuangannya, rakyat mendaulatnya menjadi pemimpin seumur hidup, tetapi beliau menolaknya, sebagai sebuah pertanggung jawaban mendirikan sebuah negara, cukup baginya menjadi presiden dua periode saja.
Nelson Mandela juga demikian, seorang yang rela mati untuk sebuah idealisme, seumur hidupnya di dedikasikan untuk perjuangan bangsa Afrika yang mendambakan demokrasi, dimana semua orang hidup bersama secara harmonis. Ia perjuangankan idealisme tersebut sekalipun di dalam penjara dan berpisah dengan rakyat yang dicintainya selama 27 tahun. Kemudian, setelah dibebaskan, tetapnya 10 Mei 1994, rakyatnya yang sangat mengerti arti sebuah perjuangan, mendaulatnya untuk menjadi presiden Afrika Selatan menggantikan presiden sebelumnya yang menjadi lambang terkuat dari penindasan rasial di muka bumi ini. Semua bangsa di dunia sepakat menyatakan bahwa “Dialah yang pantas memperoleh hak menjadi pemimpin”, dikutip dari John C. Maxwell (2003).
Norman Schwarzkopf, seorang jenderal yang mengomandani Batalion di Batangan Paninsula Vietman, digambarkan sebagai tempat yang sangat ganas mengerikan, penuh ranjau, dan menelan banyak korban. Sebagai seorang komandan, sekalipun dalam keadaan lutut bergetar, setiap saat terancam kematian, tanpa peduli selangkah demi selangkah ia lalui medan ranjau sambil memandang tanah dan mewaspadai gundulan-gundulan yang mencurigakan demi keselamatan prajurit yang berada di belakangnya. Memimpin perjuangan di medan yang sangat sulit dan mematikan, dengan penuh keberanian dan pengorbanan itu mengharuskan angkatan bersenjata memberinya hak atau kuasa untuk menjadi pemimpin.
Di negara kita juga demikian, Soekarno dan wakilnya Hatta diangkat menjadi presiden/wakil presiden pertama negeri ini karena jasa dan perjuangannya melahirkan bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Uraian di atas menjelaskan, hak menjadi pemimpin ada pada mereka calon pemimpin yang memiliki rekam jejak yang jelas dan terukur atas perjuangannya. Kepada calon pemimpin yang akan kontes pada pilkada 2020 nanti dan tidak memiliki rekam jejak perjuangan dan/atau keberpihakannya kepada pemberdayaan masyarakat selama ini, semestinya merasa malu mencalonkan diri menjadi pemimpin sekalipun menjadi pemimpin adalah hal semua orang
Alhamdulillah, satu tahapan pilkada 2020 sudah selesai dilaksanakan dan terdaftar ratusan calon kepala daerah provinsi dan kabupaten/kota, diantaranya terdapat beberapa orang calon pemimpin berasal dari anak, mantu, ponakan dan isteri penguasa (pejabat yang masih aktif berkuasa).
Fenomena, tampilkan calon kepala daerah berasal dari keluarga besar para pemimpin yang sedang berkuasa ini mendapat tanggapan pro dan kontra di masyarakat.
Ada pendapat mengatakan, munculnya calon pemimpin dari kerabat penguasa tidak melanggar hukum atau tidak ada hukum yang dilanggar dalam persoalan ini, namun pemimpin tersebut dinilai kurang etis. Dan diyakini bahwa etik (ethic) itu memiliki kedudukan lebih tinggi dari hukum (law). Disinilah seorang pemimpin diuji integritasnya. Lulus atau tidak lulus uji integritas. Penulis hanya ingin mengingatkan, bahwa jika seseorang tidak lulus uji integritas berarti mereka telah kehilangan hak moral (etik) untuk menegakkan kebenaran (amal makrub) dan mencegak kemungkaran (nahi mungkar).
Alasan sulitnya mencari figur pemimpin yang memiliki integritas di negeri ini, izinkan penulis mengutip kisah seorang Amirul Mukminin Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Ketika terjadi kekosongan jabatan dalam pemerintahannya, rakyat ingin mengusulkan anaknya untuk diangkat mengisi kekosongan jabatan tersebut karena dinilai memiliki kemampuan untuk jabatan itu. Namun Umar bin Abdul Azis seorang khalifah pembaharu, reformis dan inovator dalam Islam tersebut menolaknya seraya mengatakan bahwa perbuatan seperti itu tidak etis, selama ia masih berstatus sebagai anak Umar bin Abdul Azis, maka saya pasti menolaknya. Inilah satu contoh sikap seorang pemimpin sejati: beriman dan bertaqwa, amanah dan selalu berbuat baik untuk semua, menempatkan “Rule of Ethic” di atas “Rule of Law” (Penulis, Dosen FKIP UNTAN)
[learn_press_profile]